Di tengah kondisi dunia yang semula stabil, manusia tiba-tiba dikejutkan oleh hadirnya wabah COVID-19 yang bermula dari Wuhan, Tiongkok. Virus yang menyerang paru-paru serta organ vital lain ini menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru dunia dan mengubah cara hidup manusia dalam waktu singkat. Salah satu sektor yang paling terdampak adalah pendidikan. Sistem pembelajaran yang semula dilakukan secara tatap muka terpaksa beralih menjadi daring. Perubahan ini terjadi begitu mendadak, memaksa guru, siswa, dan orang tua untuk beradaptasi dalam waktu singkat. Pembelajaran yang sebelumnya hangat dengan interaksi langsung berubah menjadi dingin melalui layar.
Sekolah luring sejatinya tidak hanya menjadi tempat untuk mempelajari materi pelajaran, tetapi juga ruang tumbuh bagi siswa untuk membentuk keterampilan sosial, emosional, dan disiplin. Melalui interaksi langsung dengan guru dan teman, siswa belajar mengenali karakter orang lain, mengelola emosi, dan bekerja sama dalam kelompok. Di kelas, guru mampu melihat ekspresi siswa, mengetahui siapa yang benar-benar memahami pelajaran, siapa yang butuh bantuan, bahkan siapa yang sedang kehilangan semangat. Hal-hal seperti ini sulit ditangkap melalui layar komputer. Kehadiran di sekolah juga membantu siswa belajar mengatur waktu, menghargai aturan, dan mengembangkan rasa tanggung jawab. Selain itu, kegiatan seperti praktikum, ekstrakurikuler, dan proyek kelompok melatih kreativitas, kerja tim, serta kepemimpinan. Semua pengalaman itu sulit digantikan oleh pembelajaran daring.
Badai COVID-19 kini telah lama berlalu. Dunia perlahan kembali berjalan normal. Namun, pandemi itu meninggalkan jejak besar dalam kehidupan manusia, termasuk dalam dunia pendidikan. Banyak pola kehidupan yang berubah, dan sebagian bertahan hingga kini. Salah satunya adalah kebiasaan belajar secara daring. Sebelum pandemi, pembelajaran online sudah dikenal, tetapi tidak pernah semasif sekarang. Kini, kegiatan seperti perkuliahan umum atau pelatihan sering kali dilakukan melalui Zoom atau Google Meet. Meski demikian, banyak yang menyadari bahwa kemudahan yang ditawarkan pembelajaran daring tidak selalu sebanding dengan kualitas yang dihasilkan. Intensitas belajar saat daring cenderung menurun jika dibandingkan dengan luring. Ketika belajar dari rumah, siswa lebih mudah terdistraksi oleh lingkungan, koneksi internet yang tidak stabil, atau bahkan rasa malas karena suasana yang terlalu santai.
Kegiatan daring memang memberikan kebebasan, namun kebebasan itu bisa berubah menjadi boomerang. Rasa jenuh sering muncul karena kurangnya interaksi sosial dan suasana belajar yang monoton. Menyimak presentasi PowerPoint di layar terasa berbeda dibandingkan ketika melihat guru menulis di papan tulis. Setiap goresan spidol atau kapur dari guru membangun pemahaman siswa secara bertahap. Guru membangun alur berpikir perlahan, sehingga siswa bisa mengikuti dan mencerna informasi dengan lebih mudah. Sebaliknya, slide PowerPoint sering menampilkan terlalu banyak informasi sekaligus, membuat otak sulit memproses dengan baik. Kondisi ini membuat pembelajaran daring cenderung menuntut konsentrasi yang lebih tinggi, sementara kemampuan fokus manusia justru lebih mudah teralihkan ketika berada di depan layar.
Tidak jarang pula suasana kelas daring menjadi kurang kondusif. Saat suasana tenang, tiba-tiba terdengar suara mic bocor karena seseorang lupa mematikan mikrofon. Kelas pun seketika ricuh dan fokus buyar. Guru yang berusaha menenangkan kelas hanya bisa menunggu semuanya kembali diam. Momen-momen kecil seperti ini menggambarkan bagaimana teknologi yang seharusnya membantu justru bisa menjadi gangguan. Lebih dari itu, interaksi manusia yang menjadi inti dari pendidikan perlahan memudar. Tidak ada tatapan, tidak ada tawa bersama, hanya wajah-wajah beku di layar.
Kini, setelah semua kembali normal, dunia pendidikan dihadapkan pada pilihan besar: mempertahankan sistem daring yang efisien atau kembali pada pembelajaran luring yang manusiawi. Pembelajaran daring memang menawarkan fleksibilitas, tetapi sekolah luring memberikan pengalaman hidup yang tak tergantikan. Di ruang kelas, siswa belajar lebih dari sekadar pelajaran akademik --- mereka belajar menghargai waktu, menghormati guru, berinteraksi dengan teman, dan memahami nilai-nilai sosial yang membentuk karakter. Interaksi langsung melatih empati, komunikasi, dan keberanian untuk mengungkapkan pendapat. Semua itu tidak bisa didapat dari layar komputer.
Oleh karena itu, pembelajaran luring harus tetap menjadi fondasi utama pendidikan. Teknologi memang penting, tetapi hanya sebagai alat bantu, bukan pengganti. Sekolah adalah ruang kehidupan, tempat di mana pengetahuan dan nilai bertemu, membentuk manusia yang utuh --- bukan sekadar pintar, tapi juga berkarakter. Pandemi telah memberi pelajaran berharga bahwa kemajuan tidak selalu berarti menggantikan cara lama, melainkan menemukan keseimbangan antara efisiensi dan makna. Karena pada akhirnya, pendidikan bukan tentang bagaimana cepatnya kita belajar, tetapi seberapa dalam kita memahami kehidupan bersama orang lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI