Beberapa tahun terakhir, istilah "healing" dan "self-reward" semakin sering terdengar, terutama di kalangan anak muda. Ungkapan seperti "aku butuh healing ke Bali" atau "abis kerja keras, saatnya self-reward beli skincare mahal" menjadi narasi umum di media sosial. Terlihat sederhana dan wajar, tapi di balik itu, ada fenomena sosial dan psikologis yang layak untuk direnungkan lebih dalam.
Apa Itu Healing dan Self-Reward?
Secara sederhana, healing merujuk pada proses penyembuhan diri, baik secara fisik maupun mental. Dalam konteks anak muda hari ini, istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan aktivitas yang menyenangkan atau menenangkan, seperti liburan ke alam, staycation, atau sekadar ngopi di kafe yang estetik.
Sedangkan self-reward adalah bentuk penghargaan terhadap diri sendiri atas pencapaian atau kerja keras. Bentuknya bisa macam-macam---membeli barang impian, makan di restoran mewah, hingga belanja impulsif setelah melewati pekan yang berat.
Secara prinsip, kedua hal ini bukanlah sesuatu yang negatif. Namun, ketika keduanya menjadi semacam "kebutuhan wajib" atau bahkan pelarian dari masalah yang tidak pernah dihadapi, maka ada sesuatu yang patut dipertanyakan.
Kenapa Healing dan Self-Reward Jadi Tren?
Generasi muda saat ini hidup dalam tekanan yang sangat besar. Tuntutan akademik, karier, hingga ekspektasi sosial yang ditampilkan di media sosial membuat mereka rentan terhadap stres dan kelelahan mental (burnout). Dalam kondisi seperti ini, aktivitas healing dan self-reward bisa menjadi semacam katup pelepas tekanan.
Media sosial turut memperkuat tren ini. Saat seseorang mem-posting foto healing di pantai dengan caption "menyembuhkan luka yang tak terlihat", atau membagikan haul belanja online sebagai bentuk self-reward, maka orang lain pun merasa terdorong untuk melakukan hal serupa. Aktivitas yang awalnya untuk menenangkan diri, lama-lama menjadi konten untuk dikonsumsi publik.
Yang perlu digarisbawahi adalah perbedaan antara kebutuhan dan gaya hidup. Healing dan self-reward seharusnya bersifat personal dan reflektif, bukan sekadar mengikuti tren. Sayangnya, fenomena ini mulai bergeser menjadi bagian dari gaya hidup konsumtif yang kurang sehat.
Banyak anak muda merasa wajib "healing" tiap akhir pekan, padahal kelelahan mereka belum tentu berasal dari rutinitas kerja, bisa jadi dari ekspektasi sosial yang dibentuk sendiri. Mereka juga merasa berhak atas self-reward setelah aktivitas kecil, seperti menyelesaikan tugas harian, tanpa refleksi apakah itu benar-benar pantas atau hanya pelampiasan emosional.
Hal ini tentu berisiko, terutama dari sisi keuangan dan mental. Kebiasaan memberi hadiah pada diri sendiri tanpa kontrol bisa memicu perilaku konsumtif dan memperburuk kondisi emosional ketika reward tersebut ternyata tidak memberikan kepuasan yang diharapkan.
Self-Awareness: Kunci Memahami Diri Sendiri
Daripada sekadar mengikuti tren, penting bagi anak muda untuk memiliki kesadaran diri (self-awareness). Tanyakan pada diri sendiri: