Tentu ada masa-masa adaptasi yang harus dilalui oleh Hana terlebih dulu. Saat uang peninggalan suaminya hampir habis, ia mulai berpikir untuk bercocok tanam sendiri. Berbagai kesulitan pun menyertainya, karena ternyata belajar dari buku saja tidaklah cukup. Beruntung ada tetangga yang bersedia mengajarinya. Hana belajar hal baru setiap harinya. Seperti: "Tak ada pupuk. Pakai daun kering saja." atau "Jangan diberi air. Biarkan saja." Perlahan-lahan ladangnya pun membuahkan hasil. Di depan foto suaminya, ia bercurah hati: "Kami pindah kemari untuk menghindari pandangan orang, tapi kami menjadi akrab dengan penduduk desa. Awalnya memang sulit, tapi kami akan mengatasinya." (Gb. 4)
![4. Sebuah adegan dalam film Wolf Children (2012), Mamoru Hosoda (1967). Kisah tentang seorang ibu yang baik hatinya dan sangat mencintai anak-anaknya walau fisik mereka berbeda (separuh-manusia separuh-serigala). Hana menggambarkan karakter seorang ibu yang kuat, berani, dan bersedia melakukan apa pun demi kehidupan yang lebih baik bagi kedua anaknya, Yuki dan Ame.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/07/09/wolf-children-59624362347d5d0f985bdaa2.jpg?t=o&v=555)
Misalnya pada karya-karya animasi yang diproduksi oleh Studio Ghibli (1985), yang terkemuka melalui kedua pendirinya, Hayao Miyazaki (l. 1941), dan Isao Takahata (l. 1935). Keduanya memiliki kepedulian serupa terhadap lingkungan hidup, nilai-nilai tradisi pedesaan, dan spirit animisme yang terkandung di dalam cerita-cerita rakyat Jepang. Walau belakangan Studio Ghibli mengadopsi teknologi baru (komputer grafis), karya-karyanya tetap menunjukkan komitmen mereka untuk (sebagian besar) tetap digambar menggunakan teknik tradisional, yaitu dengan tangan (hand-drawntechnique).
---------
[1] Capra, Fritjof. 2002. Kearifan Tak Biasa: Percakapan dengan Orang-orang Luar Biasa. Yogyakarta: Bentang Budaya.
[Bersambung » ]