Hatiku berteriak: "Dekatlah... Peluk dia. Katakan kamu ada."
Tapi suaraku tak keluar. Badanku seolah lumpuh oleh rasa malu dan penyesalan. Aku hanya bisa menatapnya dari jauh, berharap matanya akan bertemu mataku --- tapi ia tak pernah menoleh.
Dan aku tahu... dalam keheningan itu, sesuatu dalam diriku runtuh.
Bukan karena aku tidak mencintainya. Tapi karena aku takut cintaku tak cukup untuk menyembuhkan lukanya.
Bagian 3: Saat Aku Mulai Menata Hidup dan Mendekatinya
Aku tidak tahu kapan tepatnya rasa takut itu mulai memudar. Mungkin setelah terlalu banyak malam di mana aku menangis sendirian, merasa gagal, merasa hampa. Atau mungkin, ketika aku melihatnya tertidur dengan tubuh melingkar, seperti seseorang yang sudah terbiasa hidup tanpa sandaran.
Aku tahu, jika aku terus diam, waktu akan terus mencuri kami berdua.
Jadi aku mulai menata ulang hidupku. Satu demi satu. Bukan hal besar --- bukan rumah baru, bukan pekerjaan tetap, bukan keluarga yang sempurna --- hanya langkah-langkah kecil seperti belajar memasak makanan kesukaannya, menyapanya lebih dulu, duduk di sisinya meski ia tetap diam.
Pertama kali aku menyisir rambutnya lagi, aku hampir menangis. Rambut itu tidak selembut dulu, tapi masih sama... dan saat sisir itu bergerak pelan dari akar hingga ujung, aku merasa seperti menyentuh waktu yang hilang.
Dia tidak bicara. Tapi dia juga tidak menolak. Dan itu cukup bagiku.
Suatu malam, aku membacakan buku dongeng --- meskipun usianya sudah melewati cerita-cerita tentang pangeran dan naga. Aku tidak sedang membacakan untuk usianya... aku sedang membaca untuk diriku yang terlambat menjadi ibu.
"Aku tahu, kamu marah," kataku pelan di sela halaman. "Dan kamu punya hak untuk itu. Tapi bolehkah Mama tetap di sini... meski kamu belum memaafkan?"