Mohon tunggu...
kaorie dies miyanaganih
kaorie dies miyanaganih Mohon Tunggu... freelancer

Saya adalah seorang penulis pemula yang percaya bahwa kata-kata bisa menjadi alat perubahan. Saat ini saya tengah mempersiapkan diri sebagai calon mahasiswa Fakultas Hukum, dengan semangat untuk memahami dan memperjuangkan keadilan, terutama bagi mereka yang kurang bersuara. Melalui tulisan-tulisan saya, saya ingin mengangkat isu-isu sosial, berbagi pemikiran kritis, dan menginspirasi anak muda untuk lebih peduli terhadap realita di sekitarnya. Menulis bagi saya bukan hanya hobi, tetapi juga bentuk tanggung jawab sosial. Saya percaya bahwa menjadi produktif berarti terus belajar, berbagi, dan bergerak untuk perubahan yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rambut lurus di hari yang hilang

30 Mei 2025   10:12 Diperbarui: 30 Mei 2025   10:12 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hatiku berteriak: "Dekatlah... Peluk dia. Katakan kamu ada."
Tapi suaraku tak keluar. Badanku seolah lumpuh oleh rasa malu dan penyesalan. Aku hanya bisa menatapnya dari jauh, berharap matanya akan bertemu mataku --- tapi ia tak pernah menoleh.

Dan aku tahu... dalam keheningan itu, sesuatu dalam diriku runtuh.

Bukan karena aku tidak mencintainya. Tapi karena aku takut cintaku tak cukup untuk menyembuhkan lukanya.

Bagian 3: Saat Aku Mulai Menata Hidup dan Mendekatinya

Aku tidak tahu kapan tepatnya rasa takut itu mulai memudar. Mungkin setelah terlalu banyak malam di mana aku menangis sendirian, merasa gagal, merasa hampa. Atau mungkin, ketika aku melihatnya tertidur dengan tubuh melingkar, seperti seseorang yang sudah terbiasa hidup tanpa sandaran.

Aku tahu, jika aku terus diam, waktu akan terus mencuri kami berdua.

Jadi aku mulai menata ulang hidupku. Satu demi satu. Bukan hal besar --- bukan rumah baru, bukan pekerjaan tetap, bukan keluarga yang sempurna --- hanya langkah-langkah kecil seperti belajar memasak makanan kesukaannya, menyapanya lebih dulu, duduk di sisinya meski ia tetap diam.

Pertama kali aku menyisir rambutnya lagi, aku hampir menangis. Rambut itu tidak selembut dulu, tapi masih sama... dan saat sisir itu bergerak pelan dari akar hingga ujung, aku merasa seperti menyentuh waktu yang hilang.

Dia tidak bicara. Tapi dia juga tidak menolak. Dan itu cukup bagiku.

Suatu malam, aku membacakan buku dongeng --- meskipun usianya sudah melewati cerita-cerita tentang pangeran dan naga. Aku tidak sedang membacakan untuk usianya... aku sedang membaca untuk diriku yang terlambat menjadi ibu.

"Aku tahu, kamu marah," kataku pelan di sela halaman. "Dan kamu punya hak untuk itu. Tapi bolehkah Mama tetap di sini... meski kamu belum memaafkan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun