Pesta demokrasi kepala daerah telah dimulai sejak tanggal 4 September 2020, para bakal calon sudah menyiapkan diri dan mendaftarkan diri. Pilkada serentak akan dilakukan pada tanggal 9 Desember 2020 di 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Di masa pemilihan kepala daerah ini merupakan tantangan bagi setiap bakal calon akibat situasi yang sangat tidak menguntungkan.
Satu hal lain yang menjadi pokok suksesnya pilkada ini adalah partisipasi masyarakat. Partisipasi merupakan salah satu bentuk demokrasi. Demokrasi dapat pula dikatakan pemberian kewenangan masyarakat melalui bentuk partisipasi terserbut. Partisipasi adalah upaya warga negara untuk menggunakan hak menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan  yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak, baik secara langung maupun tidak langsung.
Partisipasi bertujuan memberi jaminan kepada warga negara agar setiap kebijakan yang diambil mampu mencerminkan aspirasi masyarakat untuk menyelesaikan isu-isu terhangat dan pemerintah daerah maupun pusat mampu menyediakan saluran komunikasi agar rakyat dapat menyalurkan partisipasi aktifnya.
Tahapan ini dapat dikatakan sebagai tahapan krusial karena rakyat diwajibkan untuk melaksanakan dua kewajiban sekaligus yaitu memilih calon kepala daerah dan melakukan 3M di masa pandemi. Lebih dari itu, hal terpenting lain yang perlu diperhatikan adalah mematikan kualitas pemilih  semakin baik dan pemilih menyadari pula pentingnya menjaga kemanan dan ketertiban untuk menciptakan pemilu yang aman, damai dan tidak terpengaruh isu SARA serta politik uang.
Peran Milenial dalam Pengokohan Demokrasi
Dilansir dari siaran pers Kementerian PPN/Bappenas, diprediksi Indonesia akan mengalami masa bonus demografi pada periode 2030-2040. Bonus demografi berarti jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih tinggi dibandingkan jumlah penduduk usia tidak produktif (berusia dibawah 15 tahun dan diatas 64 tahun).
Pada periode 2030-2040, penduduk usia produktif mencapai 64% dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa. Untuk meraih keuntungan atas bonus demografi tersebut, ketersediaan sumber daya manusia yang berlimpah wajib diimbangi dengan peningkatan kualitas baik dari pendidikan dan keterampilan untuk menghadapi keterbukaan atas pasar tenaga kerja. Dengan demikian dipastikan bahwa peran milenial dalam rangkaian demokrasi sangat vital.
Di samping, itu generasi milenial berkembang pesat bersama dengan teknologi dan internet. Sejatinya, milenial memiliki berperan sebagai agent of change. Namun saat ini, minat dan partisipasi milenial mulai menurun. Hal ini disebabkan oleh pandangan dan persepsi bahwa politik hanya urusan perebutan kekuasaan dan juga dilihat sebagai suatu lingkaran setan.
Akibatnya, milenial menunjukkan sikap apatis terhadap jalannya demokrasi. Survei pada tahun 2019 oleh Atma Jaya Institute for Public Policy (AJIPP) mengenai pendapat milenial terhadap demokrasi di Indonesia dinilai masih buruk. Hasil menujukkan 44% demokrasi dinilai buruk akibat politisasi agama, 22% akibat hoax, 17% akibat korupsi, 11% akibat radikalisme, 1% akibat kekuatan penguasa dan 3% dengan alasan yang lain.
Dari informasi tersebut, agama merupakan alat politik oleh golongan tertentu untuk menjalankan pemerintahan. Hal-hal ini menjadi alasan utama milenial cenderung bertindak pasif dalam partisipasi demokrasi. Dengan teknologi sebenarnya milenial mampu berpartisipasi sebagai pengawas (controlling) jalannya pemerintahan, menghindari golput dan kampanye-kampanye positif di media sosial. Tentunya semua hal itu tidak dapat berlangsung apabila tidak ada kesadaran individu-individu untuk mulai membangun bangsanya.
Peran Media Sosial dalam Demokrasi