Mohon tunggu...
Kanya Prasetyo
Kanya Prasetyo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Fiksi Kuliner] Ada Rindu dalam Semangkuk Mie

6 Juni 2016   09:00 Diperbarui: 6 Juni 2016   09:10 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

no. 73 Kanya Prasetyo

Hari ini aku mampir lagi ke gerobak penjual mie ayam Jakarta di samping lembaga bimbingan belajar itu. Aku sendirian saja, tapi banyak juga orang yang membeli mie ayam atau mie pangsit sesuai keinginan mereka. Mungkin ada 7 atau 8 orang selain aku. Semuanya dengan lahap menikmati semangkuk mie pesanan mereka.

“Mas, mie pangsit satu ya! Kayak biasanya,” ucapku ke si penjual.

“Oke.”

Aku memesan mie pangsit lengkap dengan acar, cabe rawit hijau dan krupuk pangsit. Aku menyukai cabe rawit sebagai teman makan pangsit. Jika masih kurang mantap aku masih bisa menambahkan sambal, saos tomat atau kecap. Kutelan ludah begitu si abang penjual mie memasak pesananku. Sangat sulit bagiku untuk menahan godaan mie karena jujur aku sangat menyukainya dan tidak pernah merasa bosan melahapnya. Abang penjual mie dengan cekatan melayani beberapa pembeli sekaligus. Mangkuk-mangkuk mie saling beradu, bumbu-bumbu seperti garam, merica dan entah apa lagi dicampur di dalam mangkuk. Sementara satu tangan mencampur bumbu, tangan lainnya merebus mie beserta sawi hingga tingkat kematangannya pas. Uap panas mengepul dari gerobak dan bau khas mie yang direbus merebak di udara. Terlihat pembeli lain juga mencuri pandang ke penjual mie itu untuk meyakinkan diri bahwa pesanannya sudah dibuat dan sesuai dengan keinginannya.

Aku hanya menunggu kurang dari 5 menit sebelum mie pesananku tiba. Kuahnya masih panas dan uap masih mengepul dari sana. Sesekali aku meniupnya, tak sabar untuk mencicipi mie pesananku. Aku menyeruput kuahnya sedikit, kurasa masih kurang pas. Kutambahi beberapa sendok sambal dan kecap. Kuaduk rata dan kucicipi lagi, entah mengapa masih kurang pas juga. Kutambahi sedikit kecap lagi dan kuaduk rata hingga warna kuahnya berubah dan menjadi oranye kecoklatan, bukan bening lagi. Mienya masih terasa panas bagi lidahku namun tetap kumakan saja. Raut wajahku sedikit berubah dan aku sedikit kecewa, mie pangsit ini sekarang terasa berbeda. Bumbunya tidak pas, mienya terlalu matang, taburan ayamnya terlalu sedikit, kuahnya terlalu pedas mungkin karena tadi kebanyakan sambal, jelas tidak cocok dengan lidahku. Tapi karena aku bukan tipe orang yang membuang-buang makanan, lambat laun kuhabiskan saja semangkuk mie itu.

Lama-lama aku mulai berpikir mengapa mie ini rasanya berbeda sekali? Kurasa waktu dulu aku mencicipinya pertama kali rasanya enak sekali. Mungkin mie terenak di kota ini yang pernah kucoba atau mungkin memang mie paling enak bagiku waktu itu. Waktu pertama kali memakannya aku bahkan ingin makan lagi dan yah mungkin dibungkus dibawa pulang. Sekarang, hanya semangkuk saja aku susah payah menghabiskannya. Apa mungkin bumbunya berbeda? Penyajiannya berbeda? Pemiliknya berubah? Kurasa abang penjualnya masih sama saja dan semuanya masih terlihat sama seperti ketika aku pertama kali kesini.

Ini bukan sekali dua kali aku merasakan mie ini sudah berbeda jauh dari pertama kali aku kesini. Kurasa aku sudah beberapa kali mengunjunginya selama 5 tahun terakhir. Kurasa aku duduk dan memesan mie ini setidaknya 3 kali dalam setahun. Entahlah, aku tak ingat lagi sudah berapa kali. Namun yang pasti, kunjunganku yang kedua hingga yang sekarang ini tak pernah ada lagi dirimu. Hari ini, sama dengan 5 tahun yang lalu, hari tes SBMPTN yang digelar serentak. Hari ini 5 tahun yang lalu aku menemuimu di depan lembaga bimbingan belajar ini setelah kamu selesai tes. Kita sama-sama kelaparan belum makan siang dan kamu usulkan untuk makan mie ayam di tempat ini.

“Enak gak?” tanyamu.

“Enak kok. Enak banget malah,” ujarku sambil tersenyum.

“Makan dikit-dikit aja, gak usah keburu. Masih panas kuahnya,” katamu memperhatikan cara makanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun