Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Ancaman "Kepala Babi" bagi Demokrasi

4 April 2025   19:55 Diperbarui: 4 April 2025   21:29 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam sebuah sistem demokrasi, jurnalis dan media memiliki peran penting  sebagai watchdogs atau "anjing pengawas" yang bertugas memastikan bahwa pemerintah selalu merasa diawasi, sehingga mengurangi peluang bagi para pejabat untuk melakukan hal yang menyimpang dari domain tampuk jabatan mereka (Karadimitriou et al., 2022.). Hal ini dikarenakan pemerintah dapat dianalogikan sebagai sosok monster bermuka dua yang disebut Leviathan. Analogi ini pertama kali muncul dari filsuf Inggris, Thomas Hobbes, yang menyatakan bahwa sebuah negara perlu dinahkodai oleh pemerintahan dengan kekuatan sangat besar, layaknya seekor monster.

Dengan kekuatan yang mereka miliki, pemerintah dipercaya akan memiliki kapasitas untuk mengubah aturan main (rule of the game) agar dapat menjalankan peran dalam penegakan hukum, penyelesaian konflik antarmasyarakat, serta penyediaan layanan publik, sehingga dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika kita mempercayakan seekor monster untuk memegang kekuatan yang sangat besar, tidak ada jaminan bahwa monster ini tidak akan menggunakan kekuatan yang dimilikinya untuk mengkhianati dan menindas masyarakat demi kepentingan mereka sendiri (Acemoglu & Robinson, 2020).

Hal inilah yang disebut oleh Acemoglu dan Robinson di dalam bukunya berjudul The Narrow Corridor: States, Society, and the Fate of Liberty sebagai the gilgamesh problem, di mana alih-alih menciptakan kesejahteraan yang lebih luas. Memperbolehkan pemerintah untuk melenggang dengan kekuatan yang begitu besar justru akan menciptakan seekor monster mengerikan yang disebut sebagai Despotic Leviathan, yakni sosok pemerintahan yang tidak pandang bulu untuk bertindak sewenang-wenang terhadap masyarakatnya demi memenuhi kepentingan para elite (Acemoglu & Robinson, 2020).

Masalah ini muncul karena di dalam relasi antara masyarakat dan pemerintah, terdapat permasalahan yang dikenal sebagai asymmetric information atau kesenjangan informasi. Hal ini akan mengakibatkan interaksi yang terjadi antara publik dan pemangku kepentingan menjadi sarat akan persoalan yang di dalam ilmu ekonomi disebut sebagai principal-agent problem. Di mana rakyat (principal) yakni aktor yang memberikan kepercayaan kepada segelintir tokoh politik (agent) untuk memangku berbagai jabatan penting dalam pemerintahan---tidak dapat memverifikasi apakah figur yang mereka mandatkan benar-benar menggunakan seluruh kekuatan dan kewenangan jabatannya demi kepentingan rakyat (Core, 2017). Alhasil besar peluang untuk terjadi moral hazard, alih-alih menggunakan posisi yang mereka pegang untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat, sering kali tokoh politik ini justru menyalahgunakan kursi kekuasan demi kepentingan pribadi ataupun segelintir kelompok (Core, 2017).

Figur 1: The Narrow Corridor (Acemoglu & Robinson, 2020)
Figur 1: The Narrow Corridor (Acemoglu & Robinson, 2020)
Atas permasalahan ini lah, menjadi sangat penting bagi sebuah masyarakat untuk dapat membatasi seberapa besar kekuatan yang dimiliki oleh sang Leviathan. Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa institusi politik yang ideal akan muncul dalam sebuah "koridor" yang sempit ("the narrow corridor"), di mana terdapat keseimbangan antara kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat dan pemerintah. Disinilah penting nya peranan watchdogs yang dimiliki oleh media dan oposisi karena akan menghasilkan transparansi di antara masyarakat dan pemerintah. Ketika terindikasi adanya penyelewengan kekuasaan, maka masyarakat dan media dapat melakukan resistensi untuk memberikan tekanan terhadap pemerintah. Alhasil sang Leviathan akan takut untuk menunjukkan sisi kebengisannya---atau dalam istilah Acemoglu dan Robinson, shackled Leviathan. Hal ini dikarenakan, keberadaan oposisi dan media akan membuat para pemangku kepentingan sadar bahwa posisi mereka akan mudah untuk digoyah oleh kekuatan masyarakat yang tak kalah besar dibandingkan mereka (Acemoglu & Robinson, 2020).

Gejala Dini Otokrasi 

Namun jika kita berkaca pada kondisi negara kita sekarang, nampaknya Indonesia semakin jauh dari "koridor sempit" tersebut. Pasalnya, belakangan ini para pemangku kepentingan terlihat sangat sibuk memperluas cakupan kekuatan yang dimiliki oleh monster Leviathan. Segala bentuk upaya dilakukan oleh para elite untuk membungkam suara-suara dari seberang. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana pemerintah serta aparat dalam beberapa tahun terakhir cenderung mengesampingkan kasus-kasus teror yang berpotensi mengancam kebebasan pers. Berdasarkan laporan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dari 89 laporan ancaman yang dialami oleh jurnalis dan media pada tahun 2023, mayoritas tidak diinvestigasi secara serius oleh aparat. Hingga saat ini, baru dua pelaku yang telah dijatuhi hukuman di persidangan, sementara sisanya masih melenggang bebas di jalan (Aliansi Jurnalis Independen, 2024).

Figur 2: 4 Characteristics of Authoritarian Regime (Levitsky & Ziblatt , 2018)
Figur 2: 4 Characteristics of Authoritarian Regime (Levitsky & Ziblatt , 2018)

Fakta ini, ditambah dengan respons pemerintah yang cenderung menyepelekan kasus ancaman kepala babi terhadap Tempo, menjadi contoh konkret bagaimana sistem demokrasi di Indonesia semakin hari kian tererosi. Pasalnya, pernyataan "Dimasak saja" yang dilontarkan oleh salah satu pejabat tinggi negeri mencerminkan bagaimana pemerintah telah memenuhi salah satu dari empat karakteristik pemimpin otoriter yakni "Readiness to curtail civil liberties of opponents, including media", yang dikemukakan dalam buku How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Pernyataan tersebut seakan-akan mengglorifikasi tindakan ancaman terhadap jurnalis dan media, mengindikasikan ciri-ciri bangkitnya Informational Autocrats----pemimpin otoriter yang menggunakan media sebagai senjata untuk memanipulisasi rakyatnya (Guriev & Treisman, 2019).

Bangkitnya Informational Autocrats ini juga tercermin dari terus turunnya Indeks Kemerdekaan Pers Nasional (IKP) dalam dua tahun terakhir, dari angka 77,88 pada tahun 2022 menjadi 69,36 pada tahun 2024 mengindikasikan bahwa independensi media terus dicederai (Dewan Pers, 2024). Pada akhirnya, jika kita belajar dari kasus Rusia, ketika media tak lagi independen maka ruang publik untuk mengkritik para pemangku kepentingan menjadi semakin sempit. Kesenjangan informasi (assymetric information) antara masyarakat dan pemerintah akan semakin lebar, sehingga masyarakat yang awalnya kritis terhadap tindakan despotisme pemerintah akan cenderung bungkam akibat ketiadaan media independen (Guriev & Treisman, 2019).

Alhasil, sistem demokrasi yang kita lihat hari ini tidak lebih dari apa yang disebut sebagai "demokrasi prosedural", di mana satu-satunya esensi demokrasi yang dijalankan hanya sebatas penyelenggaraan pemilu (Urbinati, 2013). Hal ini dapat dilihat dari stagnannya indeks demokrasi kita yang bahkan merosot dari peringkat 56 menjadi 59 berdasarkan laporan dari The Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2024 lalu. Tak heran, keberadaan para elite yang terus-menerus mengubah aturan main sesuka hati demi kepentingan pribadi, semakin ditekannya hak individu untuk bebas berbicara, serta semakin dilemahkannya sistem checks and balances antara institusi pemerintahan, terus mewarnai kondisi demokrasi Indonesia belakangan ini (Economist Intelligence Unit, 2024). Kondisi ini menunjukan jika konsep demokrasi yang dulunya diagungkan, hari ini dianggap semata-mata hanya sebagai kendaraan para elite politik untuk mencapai kursi kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun