Namun, metodologi penghitungan tersebut berbeda apabila karyawan di PHK akibat pengenalan teknologi baru dan pekerja tersebut telah mengabdi selama lebih dari enam tahun, maka jumlah pesangon tambahan yang wajib dibayarkan pengusaha sebesar maksimal 360 hari gaji.
Mekanisme penghitungan pesangon yang diaplikasikan oleh Singapura sangatlah berbeda dari yang lain karena mereka melepas kebijakan tersebut sepenuhnya kepada pasar ketenagakerjaan.Â
Apabila dalam kontrak pekerja tidak secara eksplisit terdapat kesepakatan akan adanya pesangon yang harus diberikan, maka perusahaan tidak perlu membayar pesangon sepeser pun kepada karyawan yang telah di PHK.
Konsep keterikatan karyawan terhadap kontrak pekerja di Indonesia dinilai tidak kalah kaku. Sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 pasal 56, kontrak kerja di Indonesia dapat dikategorikan menjadi dua jenis, kontrak waktu tertentu dan kontrak waktu tidak tertentu.Â
Kontrak waktu tidak tertentu merupakan kontrak waktu tetap yang tidak memiliki batas waktu kehabisan dan lebih terproteksi dari ancaman PHK karena PHK harus melalui LPPHI sebelum dapat disetujui. Lain halnya dengan kontrak waktu tertentu (KWT) yang hanya memiliki batas kontrak 2 tahun dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 tahun sebanyak 1 kali.Â
Sesuai dengan UU yang sama pada pasal 59, KWT hanya diperbolehkan untuk pekerjaan yang cenderung bersifat sementara, musiman, atau menggunakan produk baru. Namun, usulan revisi UU No. 13 Tahun 2003 mencanangkan untuk meningkatkan masa KWT dari 2 tahun menjadi 5 tahun.
Apabila ditelisik secara komparatif dengan negara lain, walau upaya tersebut merupakan satu langkah menuju fleksibilitas, Indonesia masih jauh dari ungkapan 'kanebo basah'. Ketentuan pembatasan jumlah pembaharuan kontrak sebanyak satu kali di Indonesia merupakan manifestasi dari kekakuan tersebut.Â
Pembaharuan kontrak sebanyak 2 kali atau lebih telah dilakukan oleh 19 dari 26 negara anggota OECD (OECD, 2000). Pembatasan durasi kontrak pun merupakan suatu kejanggalan apabila dibandingkan dengan negara yang tercakup dalam OECD karena terbukti bahwa hanya 5 dari 26 negara membatasi durasi kontrak.
Kelenturan Sebagai Pemantik Perkembangan
Terdapat relevansi yang signifikan antara keketatan dan kekakuan peraturan ketenagakerjaan dengan kesejahteraan serta kondisi perekonomian suatu negara. Kekakuan perundang-undangan ketenagakerjaan berhubungan negatif dengan alur pasar tenaga kerja dan melalui kanal ini, menghambat pertumbuhan produktivitas (Martin et al, 2012).Â
Selain itu, keketatan peraturan ketenagakerjaan juga berhubungan negatif dengan kemampuan ekspor suatu negara. Walau memiliki kompetensi produksi yang sama, suatu negara dapat unggul (competitive advantage) dari negara pesaing apabila perundang-undangan ketenagakerjaannya lebih fleksibel (Cunat et al. 2011). (sumber)