Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money

Nilai Agamis: Katalis Tak Terduga Pertumbuhan Ekonomi?

17 Mei 2019   19:51 Diperbarui: 17 Mei 2019   20:56 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kelengkapan spiritual individu dan kolektif kerap diremehkan dan dianggap sebagai relasi mistis belaka, atau hanya sebuah relasi astral yang terlepas dari kefanaan roda duniawi yang sekuler. Namun,sesuai dengan konsep "embeddedness" yang dikemukakan sejarawan ekonomi Karl Polanyi, fungsi ekonomi tidak dapat dilepaskan dari lingkungan sosial, termasuk nilai-nilai agama, yang melekat dengannya. 

Kenneth Boulding, filsuf ekonomi Amerika, sempat menyatakan bahwa agama memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap perekonomian. Pengaruh implisit agama (melalui ajaran dan prinsip hidup) substansial mengenai variabel-variabel yang secara eksplisit (SDM, riset saintifik, dan etos kerja) mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Penyelidikan terhadap hubungan romantis konstruktif antara variabel nilai agama dan pertumbuhan ekonomi kerap terjadi dan sebuah korelasi tampak secara jelas. Namun, positif atau negatifkah korelasi tersebut? 

Prinsip Agamis Bibit Kapitalis

Bibit keingintahuan terhadap romantika ini telah dimulai sejak awal abad ke-20. Ideologi variatif sangatlah tabu di kalangan agama baik pada waktu silam maupun pada saat ini. Pada abad ke-16, teolog Perancis, John Calvin, menapakkan kaki menjadi bapak Calvinisme dan secara tersirat menanamkan bibit kapitalisme dari ajaran-ajarannya. Ideologi revolusioner tersebut ditelaah dan diteliti lebih lanjut oleh Max Weber dalam karyanya "The Protestant Work Ethic and the Spirit of Capitalism" (1905).

Berbeda dengan konsep Kristiani lain yang mengatakan bahwa keselamatan akhirat seorang individu belum terjamin, Calvinisme memegang prinsip bahwa Tuhan telah mentakdirkan individu yang akan diberikan keselamatan dari kejamnya neraka. Cara tunggal bagi mereka untuk menujukkan kebolehan mereka di hadapan ilahi dan menunjukkan bahwa mereka merupakan orang-orang yang terpilih adalah untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Penganut paham Calvinis memiliki kepercayaan bahwa pekerjaan apapun yang dilakukan sesuai dengan kodrat kebaikan dan bara api kegairahan merupakan pekerjaan yang mulia.

Prinsip hidup "workaholic" yang mereka anut sudah mendarah daging dan menjarah mulai dari tanah awal persebaran mereka di Jenewa sampai ke tanah asing Paman Sam, semua demi memastikan tempat mereka di Nirwana. Kegemaran terhadap pekerjaan tersebut bahkan melangkahi batas yang telah ditetapkan oleh pewaris kristiani sebelumnya, seperti menganggap libur pada hari natal sebagai penyembahan berhala dan menyarankan bahwa umat kristiani menganggap hari natal sebagai hari kerja pada umumnya. 

Paham fundamental seperti "Sabbatarian" yang melarang umat untuk bekerja pada hari ketujuh atau hari minggu pun dilanggar demi bekerja dan bekerja lagi. Kebiasaan mereka untuk bekerja keras serta menolak konsumsi eksesif merupakan manifestasi sempurna dari insentif untuk menabung. John Calvin bahkan menentang secara keras peniadaan riba yang telah dilarang keras oleh Katolik Roma pada abad ke-4 dan bahkan ditetapkan sebagai tindakan kriminal pada abad ke-8. Implementasi riil dalam skala makro yang dibutuhkan umat Calvinisme demi lebih jauh mendalami dan tertelan dalam panggilan sucinya tersebut adalah suatu pengejawantahan kebebasan perekonomian yang paripurna -- pasar bebas. Terbebasnya dari kekangan konstitusional, seperti diharuskan adanya libur nasional seperti hari natal dan bahkan program penunjang kesejahteraan yang dianggap sebagai penunjang kemalasan, memberikan ruang gerak yang luas demi pemenuhan misi suci mereka.

Perwujudan dari pemaparan teori Weber merupakan corak dari negara-negara yang memiliki keunggulan ekonomis dibanding negara lain. Sesuai dengan pemaparan teori Weber, negara-negara Amerika Utara dan Eropa Utara yang bercorak Protestan terbukti lebih maju secara ekonomis dibandingkan Amerika Selatan dan Eropa Timur yang bercorak Katolik (Kishtainy,  2012). 

Transformasi institusional yang beralih pada restrukturisasi ekonomi juga terjadi di poros timur akibat pengaruh Islam. Subhi Labib (dalam Banaji, 2007)  menyatakan dalam publikasinya yang terbit pada tahun 1969 bahwa kapitalisme dapat berkembang lebih cepat pada abad pertengahan di daerah Islam dibandingkan dengan di daerah Occident. 

Korelasi positif antara Islam dan kapitalisme ternyata telah tersirat kedalam sukma Islam sendiri melalui sistem Mudaraba. Mudaraba sendiri merupakan prinsip ekonomi islam yang merupakan kerja sama dimana pemilik (shahibul amal) memercayakan sejumlah modal kepada pihak kedua yang merangkap menjadi pengelola (mudharib) dengan perjanjian yang jelas di awal. Prinsip ini membutuhkan 100% modal dari pemilik dan kompetensi tinggi dari pengelola. Pengejewantahan Mudaraba dalam dunia komersial adalah commenda. Commenda sendiri merupakan perjanjian suatu usaha tunggal dimana investor mempercayakan dan mendelegasikan sumber daya kepada pihak kedua seperti penjual yang lalu akan menjual barang tersebut ke khalayak luas di luar negeri dalam perjalanan komersil. Imbalan yang didapat investor berupa sebagian dari hasil penjualan barang (biasanya sebesar ). Commenda merupakan salah satu metode komersil yang paling dominan digunakan di dunia ketimuran. 

Pengaruh nilai-nilai Islam seperti di atas tersebar melalui penaklukan regional yang kerap terjadi. Tidak dapat diragukan lagi bahwa salah satu motif yang mendorong adanya ekspansi regional adalah konsiderasi finansial dan komersial. Salah satu contohnya dapat dilihat pada penaklukan Sind yang menghasilkan 60 juta dirham menurut penghitungan al-Hajjaj, gubernur Umayyad. Kaum Arab sangatlah beruntung dengan mendapatkan warisan daerah termonetisasi sejak lama dan melakukan perubahan struktural yang mengubahnya menjadi pengejawantahan kapitalisme dengan SDA yang tidak tertandingi selain oleh China.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun