Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ongkos Mahal Menjaga Keperkasaan Rupiah

21 September 2018   18:42 Diperbarui: 28 September 2018   19:24 1457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

4-5bae1b3512ae9429a32c4355.png
4-5bae1b3512ae9429a32c4355.png
Untuk menunjukkan kaitan antara suku bunga, nilai tukar, dan jumlah uang beredar, kedua kondisi tersebut dapat digabung dalam satu grafik.

5-5bae17edbde5757d9c315b63.png
5-5bae17edbde5757d9c315b63.png
Dengan landasan teori tersebut, biaya ekonomi menjaga nilai tukar yang tinggi pun terlihat. Jika negara ingin menetapkan kurs di tingkat E*, maka tingkat bunga domestik yang diperlukan ada di Rd*. Untuk mencapai tingkat bunga tersebut, maka bank sentral perlu mengurangi jumlah uang beredar ke M*; dengan kata lain, kebijakan kontraktif yang dapat memperlambat laju perekonomian perlu diambil.

6-5bae17f5ab12ae6ac774e3a4.png
6-5bae17f5ab12ae6ac774e3a4.png
Hal ini lah yang persis BI lakukan demi menjaga nilai rupiah. Sejak Januari 2018, BI telah menaikkan suku bunga acuan (BI 7-Day Repo Rate) sebanyak 4 kali, sehingga mencapai angka 5,25%. Memang, kebijakan tersebut dilakukan demi menghindari fluktuasi kurs. Namun, seperti yang disebutkan sebelumnya, kenaikan suku bunga membuat kredit lebih mahal, sehingga menurunkan permintaan agregat dan mengurangi output.

Efek terhadap biaya meminjam ini akan lebih perih jika nilai tukar bersifat inelastis terhadap perubahan suku bunga. Hal ini sesuai dengan penemuan Edwards dan Sahminan (2008); menggunakan data tahun 2000-2006, mereka tidak menemukan bukti adanya hubungan kuat antara perbedaan suku bunga (dengan negara lain) dan nilai tukar. Dengan itu, pihak produsen dan konsumen tidak hanya menghadapi rupiah yang melemah, namun juga biaya dana (suku bunga) yang tinggi. Akibatnya, beban dari meningkatkan suku bunga tidak selamanya sebanding dengan manfaat dari menguatkan rupiah ke nilai tertentu, terutama jika rupiahnya sendiri bersifat tidak peka.

Efek Samping Dari Intervensi Pasar Valuta Asing

Selain menaikkan suku bunga, BI juga melakukan intervensi dalam pasar valuta asing (valas) demi mempertahankan nilai rupiah. Dalam hal ini, BI menjual cadangan devisanya (cadev) ke pasar melalui bank agen dengan berbagai instrumen keuangan, terutama spot exchange. Penggunaan yang cukup mencuat di berita adalah pelelangan swap lindung nilai (hedging), di mana BI telah menurunkan batas minimum transaksi dari 5 juta dollar AS menjadi 2 juta dollar AS.

Apapun cara dan instrumen yang digunakan, BI meningkatkan penawaran yang ada di pasar, sehingga secara teori menurunkan harga valas dengan asumsi ceteris paribus. Berdasarkan data 2008-2013, Syarifuddin, et al. (2014)menemukan teori tersebut berlaku di Indonesia, namun mereka tidak bisa menyimpulkan apakah intervensi berhasil dalam menjaga stabilitas nilai tukar. Meskipun penjualan valas dapat menurunkan harganya, besaran dan volatilitasnya  juga perlu diperhatikan.

Apabila penjualan valas kurang efektif dalam menjaga nilai tukar dan hal tersebut terus dilakukan, maka sebuah masalah dapat terjadi. Jika para spekulan melihat bahwa suatu nilai kurs yang dipertahankan bank sentral lebih tinggi dibandingkan nilai alamiahnya dan bahwa bank sentral tersebut tidak memiliki cadev yang cukup untuk menjaganya, maka mereka melihat peluang untuk mencari keuntungan dengan cara membeli valas yang lebih kuat. Tindakan ini akan mendorong permintaan valas sehingga meningkatkan nilai tukar ekuilibrum, mempersulit bank sentral dan mempercepat habisnya cadev.

Per 31 Agustus, BI memiliki cadev sebesar USD117,9 miliar , setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Meskipun angka tersebut lebih dari standar kecukupan nasional sebesar 3 bulan, kebijakan mengenai kapan dan seberapa besar intervensi yang perlu dilakukan tetap dibutuhkan dalam menjaga nilai tukar. Dengan adanya ancaman speculative attack, depresiasi perlahan yang membakar cadangan dalam waktu yang lama terkadang lebih baik daripada mati-matian mempertahankan mata uang di bawah suatu angka magis tertentu.

Selain mengurangi cadangan valas, intervensi pasar demi mempertahankan nilai tukar juga mengurangi jumlah uang yang beredar. Ketika bank sentral menjual valas ke masyarakat, maka transaksi tersebut mengurangi baik aset asing yang dimiliki bank sentral dan juga uang dalam arti sempit (monetary base). Hal ini disebabkan rupiah yang sebelumnya beredar di masyarakat digunakan untuk membeli valas tersebut; uang tersebut masuk ke bank sentral. Akibatnya, nilai tukar memang naik namun jumlah uang beredar turun, tindakan yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Bank sentral dapat mensterilisasi efek tersebut melalui pembelian surat berharga di pasar uang, sehingga masyarakat menerima uang dari hasil penjualan aset mereka ke bank sentral. BI melakukan hal ini sebagai bagian dari “intervensi ganda” mereka, di mana BI telah mengeluarkan Rp 11,9 triliun di pasar valuta asingdan pasar sekunder, di mana mereka membeli Surat Berharga Negara (SBN).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun