Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Nasib "Si Gemuk" dalam Pusaran Perdagangan Bebas

16 Maret 2018   19:56 Diperbarui: 20 April 2018   12:32 1266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedua, makanan dari restoran cepat saji dan produk makanan olahan umumnya dijual dengan harga yang lebih murah dibanding makanan dengan nutrisi seimbang, sehingga untuk mencapai utilitas maksimal, konsumen akan mengkonsumsi lebih banyak makanan olahan dan cepat saji.

Jadi, kebijakan perdagangan yang semakin terbuka khususnya di sektor makanan dan minuman akan mendorong tumbuhnya restoran dan toko ritel. Semakin besar keran investasi dibuka, semakin tepat istilah negara importir obesitas disematkan pada mereka. Menjamurnya waralaba yang menawarkan makanan rendah nutrisi ini juga didukung dengan strategi promosi yang masif dan jitu. Masyarakat lokal semakin terpapar dengan produk junk-food, makanan olahan, dan minuman berkarbonasi. Pada gilirannya, mereka berisiko besar terkena penyakit tidak menular (non-communicable disease) seperti diabetes, strok, atau jantung koroner. Studi oleh Odeegard, et al. (2012)  menemukan bahwa mereka yang mengkonsumsi makanan cepat saji dua kali dalam seminggu 27 persen lebih berisiko terkena penyakit diabetes dan 56 persen berisiko meninggal akibat penyakit jantung dibanding mereka yang tidak mengkonsumsi secara rutin [6].  

Lantas, bagaimana 'Si Gemuk' berdamai dengan penyakit mematikan ini?

Membandingkan Nasib 'Si Gemuk'

Menjadi pengidap obesitas artinya berjalan mendekati diabetes---penyakit kronis yang membunuh enam orang di dunia setiap detik.  Namun, nasib 'Si Gemuk' tak bisa dipukul rata karena memiliki variasi penderitaan yang berbeda di setiap negara. Negara-negara baru berkembang, yang akibat kebijakan pemerintahnya terpaksa mengimpor obesitas, harus memikul beban lebih berat. Hal ini disebabkan karena jaminan kesehatan yang tersedia belum siap menghadapi jenis penyakit yang dipicu oleh obesitas ini.

Contohnya Ghana, satu dari 73 negara yang mengalami peningkatan prevalensi obesitas tiga kali lipat sejak 1980. Ghana yang selama ini hanya akrab dengan penyakit seperti malaria dan HIV/AIDS harus mulai berkenalan dengan daftar penyakit baru seperti diabetes. Para penderita diabetes di Ghana umumnya tidak mampu berobat karena biaya pengobatan untuk penyakit 'baru' ini begitu mahal. Sebab, jaminan kesehatan tidak menanggung layanan kesehatan seperti pengecekan kadar gula darah dan belum sepenuhnya mampu menutupi biaya obat-obatan yang terkait dengan penyakit diabetes, seperti suntik insulin. Celakanya lagi, kekurangan konsultan, ahli gizi, dan bahkan dokter membuat nasib para penderita diabetes di Ghana tidak dapat didiagnosis lebih awal. Tidak heran jika sejak 1990 hingga 2015, tingkat kematian akibat berat badan berlebih meningkat 139 persen [7]. 

Berbeda halnya dengan negara yang sudah siap menghadapi dampak buruk dari obesitas. Katakanlah Amerika Serikat, negara eksportir obesitas terbesar di dunia ini bisa dikatakan sudah matang dengan jaminan kesehatannya untuk membentengi masyarakatnya dari risiko-risiko penyakit seperti diabetes. Dengan anggaran kesehatan yang mencapai 3 triliun dollar AS, negara ini terus mencari cara untuk senantiasa meningkatkan kualitas sistem jaminan kesehatan mereka agar tidak menguras kantong  masyarakatnya yang mengidap penyakit kronis [8]. Selain itu, inovasi di bidang kesehatan di negara tersebut juga semakin memungkinkan para penderita diabetes dapat bertahan lebih lama dan menjalani hidup yang tetap produktif.

Di Jerman, asuransi kesehatan nasionalnya bahkan sangat memprioritaskan para pengidap penyakit kronis, termasuk diabetes. Peserta jaminan kesehatan digaransi memiliki akses ke layanan kesehatan dengan harga yang sangat terjangkau. Dengan ditopang lebih dari 100 lembaga asuransi publik, sistem jaminan kesehatan untuk penyakit kronis di negara ini mampu menekan biaya-biaya pengobatan. Salah satu upaya yang dilakukan lembaga asuransi publik ini adalah secara pro-aktif mengadakan negosiasi terkait harga obat dengan perusahaan-perusahaan farmasi setempat sejak tahun 2011. Upaya ini berhasil menekan harga obat, yang menjadi komponen terbesar dalam layanan kesehatan untuk diabetes, menjadi sangat rendah dibanding negara-negara lain [9].

Menjadi 'Si Gemuk' yang mengidap penyakit kronis memang tidak mengenakkan terlepas di manapun kita berada. Akan tetapi, kenelangsaan itu setidaknya bisa dikurangi dengan adanya jaminan kesehatan yang siap dan matang. Namun, bagaimanapun juga, obesitas dan turunan penyakitnya adalah jenis gangguan kesehatan yang dapat dicegah. Rata-rata negara di dunia menghabiskan 8 hingga 20 persen anggaran kesehatannya untuk mengobati 'Si Gemuk'. Untuk itu, perlu langkah-langkah preventif yang paripurna untuk terus menekan prevalensi obesitas, termasuk menginternalisasi dampak kesehatan yang begitu mahal dalam perundingan kerja sama perdagangan internasional. Gain from trade adalah keniscayaan,  tapi jangan sampai weight gain  yang mendominasinya.

Oleh Zihaul Abdi | Ilmu Ekonomi 2016 | Wakil Kepala Divisi Kajian Kanopi 2018

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun