Mohon tunggu...
Kang Win
Kang Win Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ingin berkontribusi dalam merawat kebersamaan dan keragaman IG : @ujang.ciparay

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cecep dan Jakarta

21 April 2021   08:30 Diperbarui: 21 April 2021   08:30 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Syukur semuanya menerima Cecep dengan hangat, meski sempat berbicara empat mata dengan Sang Marinir yang asli Manado dengan disaksikan sepucuk pistol berpeluru tergolek di atas meja.

Pengalaman beberapa tahun lalu "diculik" aparat berbaju loreng ketika matahari belum lagi terbit sempurna beberapa jam setelah terjadinya ledakan bom di Tanjung Priok, membuat pistol menjadi tidak seram-seram amat. Baginya lebih seram menghadapi sikap-sikap tidak bersahabat dari kawan-kawan yang jumlahnya belasan itu.

Meski sempat galau, Cecep harus membulatkan tekad untuk menghadapi ini dengan ketegaran. Dan dia masih punya satu senjata andalan untuk menaklukan mereka. Yang ini bukan mantra, bukan pula ajimat. Hanya sebuah bantal yang dia bawa dari rumah dan menyesaki travel bag yang menemani perjalanannya dari Bandung sampai ke Dharmawangsa di bilangan Kebayoran Baru itu. Ini benar-benar sebuah bantal. Hanya bantal. Tanpa guling, apalagi kasur dan selimut. Dalam seminggu pertama, Cecep menginap di sebuah home stay tidak jauh dari kantor, sambil mencari indekos yang sesuai dengan kondisi kantongnya. Karenanya, bantal itu belum sempat keluar dari travel bag yang dibawanya.

Cecep sengaja bawa bantal itu dengan perhitungan jika keadaan memaksa dimana dia harus mengeluarkan jurus pamungkas, bantal itu akan menjadi senjata ampuh  yang  mematikan.

Doktor! Ini bukan gelar akademik S3, tapi mondok di kantor. Ya tidur di kantor. Inilah jurus pamungkas itu. Mushola kantor kemudian menjadi tempat mengeluarkan jurus pamungkas itu.

Tidak kurang dari setahun Cecep menggunakan jurus pamungkas itu dengan sabar dan telaten. Dengan mondok di kantor, dia bisa siap kerja sebelum jam kantor dimulai. Tentu tidak lupa berdasi seperti pesan Marzian sebelum berpisah di Alun-alun Bandung. Pada saat yang sama belasan orang itu tak pernah tahu adanya jam kantor. Datang terlambat merupakan hal yang biasa. Cecep juga bisa bekerja sampai larut malam, saat di mana pulang sebelum jam kerja berakhir, menjadi praktik hari-hari belasan kawan itu.

Mereka telah terkena wabah virus imsomnia. Lupa bahwa ada yang namanya jam kerja. Mungkin ini menjadi sebab beberapa pimpinan kantor sebelumnya tidak bertahan lama.

Cecep harus bekerja sendirian menyiapkan strategic planning juga action plan. Betul-betul bekerja sendirian, tak ada seorang pun yang mau berbagi meski sekadar masukan-masukan kecil. Belasan kawan itu mungkin berpikir, tanpa yang begitu-begitu kantor tetap ada dan gaji tidak pernah telat. Dengan susah payah Cecep bersafari menemui 3 orang yang pernah memimpin sebelumnya. Dari mereka inilah Cecep banyak menerima masukan yang berharga.

Jam belum lagi menunjukkan pukul 5 sore, akhir jam kerja, belasan kawan itu sudah tidak kelihatan satu pun. Telepon kantor berdering, diangkat oleh Suparna. Ternyata dari Marzian. Dari sebuah wartel Marzian menghubungi Cecep. Ia mengabarkan beberapa kawan senior di Bandung yang mempertanyakan kepindahan Cecep ke Jakarta sering kontak dengan Gani. Dia tidak begitu jelas mengetahui apa yang mereka bicarakan dengan Gani. Tapi dari gelagatnya mereka belum legowo dengan kepindahan Cecep ke Jakarta. Marzian hanya berpesan agar Cecep berhati-hati dan kalau bisa coba dekati Gani bicara dari hati ke hati.

Marzian betul, Ganilah satu-satunya yang memiliki kaitan emosional dengan dirinya, sesama "urang Bandung", sesama alumni Kantor Bandung. Sebetulnya Cecep bukan tidak pernah mencoba pendekatan kepada Gani dan juga kepada yang lainnya. Tapi hasilnya nihil. Sekarang Cecep merasa tidak ada salahnya mencoba kembali pendekatan kepada belasan kawan itu.

Sesuai saran Marzian, dengan berbekal draft awal strategic planning dan action plan, ditemuinyalah Gani. Diawali ngobrol ngalor ngidul tentang kebersamaan mereka selama di Bandung. Sambil menyodorkan draft perencanaan yang dibawanya, Cecep mengatakan bahwa Ganilah yang pertama dia beri. Kepada Gani, Cecep mengatakan, "Kang, urang duaan sarua papada ti Bandung. Balad-balad di 27 propinsi ngadagoan hasil gawe urang di dieu. Mun urang berhasil, Bandung baris bangga ka urang  duaan   (Kang, kita berdua sama-sama berasal dari Bandung. Kawan-kawan kita di 27 provinsi menunggu hasil kerja kita di sini. Jika kita berhasil, Bandung akan bangga kepada kita berdua)."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun