Pernahkah kita berpikir bahwa kalender-kalender itu dibuat dengan dasar ilmu pengetahuan yang tinggi. Kalender Masehi misalnya didasarkan atas perhitungan pergerakan peredaran matahari sehingga disebut pula kalender solar. Sedangkan Kalender Hijriyah didasarkan perhitungan peredaran bulan mengelilingi bumi sehingga disebut pula kalender lunar. Demikian pula Kalender Bali yang didasarkan pada perhitungan peredaran bulan mengelilingi matahari.
Oleh karena itulah maka awal hari pada Kalender Masehi dihitung dari pukul 12 malam, sedangkan pada Kalender Hijriah dimulai saat matahari terbenam. Karena penggunaan dasar perhitungan yang berbeda itu pula maka kalender hijriyah lebih pendek 11 hari daripada kalender masehi.
Matahari dan bulan adalah makhluk Allah SWT. Pengetahuan manusia tentang keduanya adalah bagian dari Ilmu Allah yang dianugrahkan kepada manusia. Maka penghargaan kepada hal-hal tersebut adalah wujud rasa syukur kita kepada Allah SWT Sang Khaliq dan Sang Pemilik Ilmu.
Tahun baru adalah awal periode waktu dari sebuah sistem kalender. Memperingati tahun baru, apapun kalendernya, adalah upaya mengingat waktu bahwa waktu adalah anugrah Allah kepada umat manusia, apapun agamanya. Betapa dahsyatnya anugrah Allah yang bernama waktu. Di hadapan Sang Waktu, setiap diri manusia adalah sama. Tidak ada pria atau wanita, Â kaya atau miskin, pejabat atau rakyat jelata, orang kuliahan atau orang kulian. Tak ada seorang manusiapun yang mampu menaklukan waktu. Juga makhluk-makhluk Allah yang lain. Semuanya tunduk kepada waktu. Maka sejatinya tidak ada satupun yang paling hebat di antara yang lainnya.
Dengan demikian menyambut dan merayakan tahun baru adalah wujud rasa syukur kita kepada Alloh SWT Sang Pemilik Waktu sekaligus pengakuan atas ketidakberdayaan kita berhadapan dengan waktu.
PR-nya adalah bagaimana agar dalam setiap perayaan tahun baru tidak terjadi hal-hal yang mubazir yang sejatinya menjadi sifat setan. Perayaan tahun baru juga tidak seharusnya mengundang kemudaratan.
Jika menyambut dan merayakan tahun baru merupakan wujud rasa syukur kepada Sang Pemilik Waktu, sekaligus pengakuan atas ketidakberdayaan kita berhadapan dengan waktu, maka semakin sering memperingati tahun baru dari berbagai kalender semakin baik dan mestinya menjadi wahana membangun sikap rendah hati di hadapan manusia lain dan rendah diri dihadapan Allah SWT. Itulah Tawadlu, sikap yang menjadi misi kehadiran Sang Waktu.
>