Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary

Sang Waktu, Catatan yang tersisa dari Tahun Baru 2021

16 Januari 2021   16:00 Diperbarui: 16 Januari 2021   17:55 313 36
Mungkin menjadi pertanyaan, apa urgensinya kutulis tentang ini. Bukankah tahun baru adalah hal biasa ? Bukankah perayaan tahun baru juga hanyalah rutinitas tahunan semata ?

Kawan, justru karena faktor hal biasa dan rutinitas belaka, membuat hadirnya semacam kegundahan dalam diriku. Kegundahan yang muncul dalam kapasitasku sebagai seorang Muslim.

Jadi inilah catatanku tentang perayaan tahun baru di hari ke 16 tahun baru 2021. Sebuah catatan dari perspektif diriku sebagai seorang Muslim yang lahir dan hidup di Indonesia.

Atas nama Ghirah Islamiyah kita boleh-boleh saja menganggap tahun baru Masehi adalah milik orang lain dan merayakannya menjadi hal yang tidak pantas dilakukan.

Atas nama ghirah itu pula  kita boleh-boleh saja hanya merasa pantas merayakan tahun baru Hijriyah.

Juga adalah sah-sah saja ketika keberatan atas perayaan tahun baru masehi didasarkan pada pandangan bahwa perayaan itu mengundang potensi rusaknya akidah.

Namun kalau kedua hal itu yang menjadi alasan  mengapa tidak ada satupun negara yang mayoritas penduduknya Islam menggunakan kalender hijriyah sebagai kalender resmi negara. Terakhir, Arab Saudi tahun 2016 mengganti Kalender resminya dari Kalender Hijriyah menjadi Kalender Masehi.

Dalam pandanganku,  pilihan menggunakan kalender masehi hanyalah alasan kepraktisan, tidak ada hubungannya dengan syar'i dan tidak syar'i apalagi dengan urusan akidah.

Dalam konteks yang lain, pernahkah terpikir bahwa rusaknya akidah kita justru terjadi akibat cara pandang yang keliru terhadap tata hidup kita sendiri. Uang dan jabatan menjadi berhala yang secara tidak sadar kita pertuhankan. Sekarang ini merasa diri paling benar adalah berhala terbesar yang ada pada diri kita.

Selain kalender Masehi dan Hijriyah, ada banyak kalender lainnya. Di Indonesia saja, beberapa bisa disebut diantaranya Kalender Imlek, Kalender Jawi dan Kalender Sunda, juga kalender yang secara khusus digunakan umat Hindu Bali (Kalendet Saka) dan umat Budha (Kalender Buddhist Era)

Pernahkah kita berpikir bahwa kalender-kalender itu dibuat dengan dasar ilmu pengetahuan yang tinggi. Kalender Masehi misalnya didasarkan atas perhitungan pergerakan peredaran matahari sehingga disebut pula kalender solar. Sedangkan Kalender Hijriyah didasarkan perhitungan peredaran bulan mengelilingi bumi sehingga disebut pula kalender lunar. Demikian pula Kalender Bali yang didasarkan pada perhitungan peredaran bulan mengelilingi matahari.

Oleh karena itulah maka awal hari pada Kalender Masehi dihitung dari pukul 12 malam, sedangkan pada Kalender Hijriah dimulai saat matahari terbenam. Karena penggunaan dasar perhitungan yang berbeda itu pula maka kalender hijriyah lebih pendek 11 hari daripada kalender masehi.

Matahari dan bulan adalah makhluk Allah SWT. Pengetahuan manusia tentang keduanya adalah bagian dari Ilmu Allah yang dianugrahkan kepada manusia. Maka penghargaan kepada hal-hal tersebut adalah wujud rasa syukur kita kepada Allah SWT Sang Khaliq dan Sang Pemilik Ilmu.

Tahun baru adalah awal periode waktu dari sebuah sistem kalender. Memperingati tahun baru, apapun kalendernya, adalah upaya mengingat waktu bahwa waktu adalah anugrah Allah kepada umat manusia, apapun agamanya. Betapa dahsyatnya anugrah Allah yang bernama waktu. Di hadapan Sang Waktu, setiap diri manusia adalah sama. Tidak ada pria atau wanita,  kaya atau miskin, pejabat atau rakyat jelata, orang kuliahan atau orang kulian. Tak ada seorang manusiapun yang mampu menaklukan waktu. Juga makhluk-makhluk Allah yang lain. Semuanya tunduk kepada waktu. Maka sejatinya tidak ada satupun yang paling hebat di antara yang lainnya.

Dengan demikian menyambut dan merayakan tahun baru adalah wujud rasa syukur kita kepada Alloh SWT Sang Pemilik Waktu sekaligus pengakuan atas ketidakberdayaan kita berhadapan dengan waktu.

PR-nya adalah bagaimana agar dalam setiap perayaan tahun baru tidak terjadi hal-hal yang mubazir yang sejatinya menjadi sifat setan. Perayaan tahun baru juga tidak seharusnya mengundang kemudaratan.

Jika menyambut dan merayakan tahun baru merupakan wujud rasa syukur kepada Sang Pemilik Waktu, sekaligus pengakuan atas ketidakberdayaan kita berhadapan dengan waktu, maka semakin sering memperingati tahun baru dari berbagai kalender semakin baik dan mestinya menjadi wahana membangun sikap rendah hati di hadapan manusia lain dan rendah diri dihadapan Allah SWT. Itulah Tawadlu, sikap yang menjadi misi kehadiran Sang Waktu.



>


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun