Mohon tunggu...
Ivi Wartapradja
Ivi Wartapradja Mohon Tunggu... Vox Audita Perit Literra Scripta Manet

Social Unrest

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru Beban Negara,Koruptor Aset Bangsa?

26 Agustus 2025   11:14 Diperbarui: 10 Oktober 2025   10:44 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Udara di ruang kelas terasa pengap, bercampur dengan kapur tulis dan semangat yang tak pernah padam. Di depan papan tulis, seorang guru dengan seragam sederhana mencoba menerangkan masa depan kepada murid-muridnya. Tangannya yang penuh kapur itu sedang menulis bukan hanya rumus matematika, tetapi juga cetak biru bagi kemajuan bangsa. Di saat yang sama, di sebuah ruang ber-AC, pernyataan yang meluncur dari mulut pejabat tinggi negara justru menusuk hingga ke tulang sumsum para pahlawan tanpa tanda jasa itu. "Guru menjadi beban negara," demikianlah potongan kalimat yang viral diucapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mengguncang fondasi rasa keadilan di masyarakat.

Pernyataan itu bagai pisau belati yang mengoyak-koyak harga diri dan mengiris hati. Ia bukan sekadar salah ucap, tetapi cerminan dari sebuah perspektif yang sangat berbahaya: memandang investasi sumber daya manusia sebagai liabilitas. Bagaimana mungkin pilar utama yang membentuk karakter dan intelektual generasi penerus justru dilihat sebagai angka pengeluaran yang memberatkan di dalam laporan keuangan negara? Logika ini terasa pahit dan menyakitkan, terlebih datang dari seorang yang posisinya hari ini tidak lepas dari jerih payah seorang guru di suatu tempat di masa lalunya.

Setiap orang yang duduk di kursi kekuasaan, tanpa terkecuali, berhutang nyawa pada jasa guru. Sri Mulyani sendiri adalah produk dari sistem pendidikan yang dibangun oleh para guru. Dari mengenal huruf, angka, hingga teori ekonomi yang membuatnya lihai mengelola keuangan negara, semua berawal dari seorang guru. Menginjak-injak mereka yang telah menjadi tangga pertama menuju kesuksesanmu adalah sebuah ironi yang sangat memilukan dan menunjukkan kelupaan akan akar.

Sebagai pejabat negara yang seharusnya menjadi teladan, tutur kata haruslah dijaga. Setiap kalimat yang keluar memiliki bobot dan dampak yang masif. Alih-alih menyemangati para garda terdepan pendidikan yang sudah bekerja dengan gaji pas-pasan di tengah beban hidup yang kian mencekik, pernyataan tersebut justru menuangkan garam pada luka yang sudah lama menganga. Ini bukan lagi soal salah persepsi, tetapi soal sensitivitas dan penghargaan.

Lalu, jika kita hendak berbicara tentang 'beban', mari kita ajukan pertanyaan yang lebih jernih: Siapa sesungguhnya beban terberat bagi negara ini? Apakah guru yang setiap hari membentuk anak-anak Indonesia menjadi manusia yang berakal budi dan berketerampilan? Ataukah para koruptor yang secara sistematis menggerogoti uang rakyat, menyedot anggaran untuk proyek fiktif, dan menyimpan kekayaan negara di rekening-rekening gelap? Uang yang berhamburan tanpa jejak inilah yang sesungguhnya menjadi tumor ganas dalam tubuh bangsa.

Paradoksnya justru semakin menjadi-jadi. Di saat pernyataan 'beban' itu dilontarkan, diam-diam kebijakan fiskal justru mengalirkan tunjangan dan fasilitas yang sangat gemilang bagi anggota dewan. Angka-angka yang dikeluarkan untuk tunjangan reses, operasional, dan hal-hal lain seringkali membuat rakyat tercengang. Ada kesan yang kuat bahwa 'beban' yang satu diberi santunan, sementara 'beban' yang lain---yaitu guru---harus dipersoalkan.

Masyarakatakat kecil, yang diwakili oleh para guru, petani, nelayan, dan buruh itu, justru semakin tercekik. Mereka terjepit di antara kebijakan-kebijakan yang tidak memihak, dengan beban pajak yang kian berat yang dirasakan tidak sebanding dengan pelayanan yang diterima. Pajak yang seharusnya menjadi napas untuk membiayai pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, seolah menguap ditelan korupsi dan salah alokasi. Rakyat dibebani untuk membayar, sementara 'beban' sesungguhnya dibiarkan berlarian.

Situasi ini bukan hanya ironis, tetapi sudah pada tingkat yang paradoks. Sebuah negara seolah kehilangan kompas dalam menilai mana yang aset dan mana yang liabilitas. Mereka yang mencuri dianggap pintar, sementara mereka yang membangun dicap sebagai beban. Mereka yang menghabiskan uang rakyat untuk kesenangan pribadi mendapat fasilitas mewah, sementara mereka yang mencetak generasi emas harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan pokok.

Pernyataan Sri Mulyani ini harus menjadi cambuk untuk introspeksi seluruh elemen bangsa. Sudahkah kita menghargai guru tidak hanya dengan kata-kata manis di Hari Guru, tetapi dengan kebijakan yang substantif dan memuliakan? Sudahkah kita memerangi para beban sesungguhnya---yaitu koruptor---dengan hukuman yang setimpal dan sistem yang lebih kuat? Atau kita justru membiarkan penyakit itu tumbuh subur sambil mempersalahkan para dokter yang berusaha menyembuhkannya?

Guru bukan beban. Guru adalah investasi paling berharga. Mereka adalah penanam pohon yang buahnya akan dinikmati oleh generasi yang akan datang, termasuk oleh para pejabat di masa depan. Ucapan seorang menteri boleh melukai, tetapi api semangat mengabdilah yang tidak akan pernah padam. Masalahnya bukan pada guru, tetapi pada cara pandang yang keliru. Mari benahi cara pandang itu, dan kejarlah para perompak uang rakyat yang sesungguhnya, karena merekalah sebenranya beban yang menghambat Indonesia maju(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun