Mohon tunggu...
Kang Dimas
Kang Dimas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI) Caretaker Komisariat Universitas Terbuka

Membaca Buku Dan Mendengarkan Musik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Neoliberalisme dan Kesenjangan Ekonomi

27 November 2023   07:02 Diperbarui: 27 November 2023   07:08 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kedua, Pemerintah semakin bergantung pada modal asing. Untuk itu, pemerintah menempuh segala macam cara untuk menarik investasi. Misalkan, untuk menarik minat investor asing, pemerintah mengurangi pajak bagi perusahaan multi-nasional. Kebijakan ini menyebabkan melambatnya pendapatan negara dari pajak. 

Sebagai gantinya, pemerintah akan menaikkan pajak untuk pelaku usaha di dalam negeri atau menciptakan berbagai jenis pajak untuk rakyat marhaen. Ini berkontribusi pada pendalaman ketimpangan pendapatan: di satu sisi, perusahaan multinasional mendapatkan keuntungan yang luar biasa, sedang di sisi lain, rakyat miskin dipaksa membayar kerugian yang mereka tinggalkan.

Cara lain untuk menarik investasi asing adalah deregulasi pasar tenaga kerja. Rezim upah minimum harus dihapuskan. Dengan begitu, negosiasi upah akan dialihkan menjadi negosiasi pemberi kerja dan pekerja. Pada saat bersamaan, diberlakukan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Di lain pihak, peranan dari serikat serikat pekerja harus dilemahkan atau bahkan dihancurkan.

Ketiga, swastanisasi besar-besasan terhadap perusahaan negara. Swasta dianggap satu-satunya agen tunggal dalam perekonomian yang sanggup beroperasi di bawah hukum persaingan. Privatisasi mendorong pengalihan kekayaan negara kepada modal swasta. Selain itu, privatisasi perusahaan negara memaksa rakyat miskin membayar mahal hasil produksi atau jasa yang dijual oleh perusahaan yang sudah diprivatisasi tersebut.

Keempat, akibat kehancuran sektor-sektor produktif negara dan berkurangnya penerimaan negara dari pajak, negara semakin bergantung pada utang luar negeri. Ketergantungan terhadap utang luar negeri ini membawa negara dalam situasi seperti "terperangkap". Misalkan, kreditor kemudian membuat ketentuan agar APBN diprioritaskan pembayaran cicilan utang ketimbang ketimbang domestik. Argumentasi mereka sederhana: itikad baik membayar utang akan menambah kepercayaan investor asing.

Sebaliknya, bagi kita, tekanan untuk membayar utang dan cicilannya berdampak pada berkurangnya kemampuan negara untuk belanja modal dan belanja sosial. Pada prakteknya, anggara untuk belanja sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan lain-lain, dipangkas. Tak hanya itu, anggaran untuk subsidi, seperti subsidi energi dan pertanian, juga perlahan-lahan dihapus.

Sebaliknya, bagi kita, tekanan untuk membayar utang dan cicilannya berdampak pada berkurangnya kemampuan negara untuk belanja modal dan belanja sosial. Pada prakteknya, anggara untuk belanja sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan lain-lain, dipangkas. Tak hanya itu, anggaran untuk subsidi, seperti subsidi energi dan pertanian, juga perlahan-lahan dihapus.

Kelima, penyerahan layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, air minum yang bersih, penyediaan rumah, dan lain sebagainya, kepada mekanisme pasar. Akibatnya, layanan dasar tersebut menjadi "barang mewah" di mata rakyat marhaen. Biaya dari kenaikan harga layanan dasar itu harus ditanggung individu sebagai penerima manfaat. Pada aspek ini, konsep warga negara telah dihilangkan dan diganti dengan konsumen.

Ketimpangan ekonomi sebetulnya tidak perlu terjadi jikalau kita konsisten menjalankan konsep demokrasi ekonomi. Oleh para pendiri bangsa, konsep demokrasi ekonomi ini dirancang untuk melahirkan kesejahteraan sosial. Dan, garis besar dari prinsip demokrasi ekonomi ini sudah diatur dalam pasal 33 UUD 1945. Sayang, para penyelenggara negara saat ini tidak pernah dan mungkin tidak akan mau menjalankannya. Sebaliknya, mereka justru menjalankan prinsip-prinsip ekonomi yang didiktekan oleh IMF, Bank Dunia, dan WTO. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun