Di balik keriuhan suara anak-anak Sekolah Dasar yang bermain dan belajar, tak jarang tersimpan kisah-kisah sunyi tentang luka keluarga. Salah satu yang paling sering terabaikan adalah pengalaman anak dari keluarga broken home---anak-anak yang hidup dalam bayang-bayang perceraian, konflik rumah tangga, atau kehilangan salah satu figur orang tua. Mereka duduk di bangku sekolah seperti anak lainnya, namun membawa beban emosional yang tak kasatmata.
Broken home bukan akhir. Kalimat ini bukan sekadar penghiburan, melainkan pernyataan penuh harapan bahwa masa depan anak-anak tersebut tetap bisa cerah. Namun, harapan itu perlu dijaga dan diperjuangkan, terutama melalui dukungan emosional yang berkelanjutan, salah satunya di lingkungan sekolah dasar---tempat di mana anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya.
Luka Sunyi yang Tak Terucap
Anak dari keluarga broken home sering menunjukkan tanda-tanda tekanan emosional, meski tak semua terlihat jelas. Beberapa menjadi murung dan menarik diri, lainnya justru memberontak, sulit diatur, atau mengalami penurunan prestasi belajar. Sayangnya, tidak semua guru memahami akar persoalan ini. Terkadang, anak yang "bermasalah" hanya dianggap nakal atau malas, tanpa upaya untuk menggali lebih dalam kondisi psikososialnya.
Padahal, anak-anak usia sekolah dasar masih berada dalam tahap perkembangan emosional yang sangat krusial. Ketidakhadiran dukungan yang tepat bisa membuat mereka tumbuh dengan luka batin yang dalam, mempengaruhi kepercayaan diri, rasa aman, dan hubungan sosial mereka kelak.
Sekolah sebagai Ruang Aman
Sekolah dasar bukan hanya tempat menuntut ilmu, tetapi juga seharusnya menjadi ruang aman bagi semua anak, terutama mereka yang tidak mendapat kestabilan emosional di rumah. Guru, staf sekolah, dan lingkungan belajar memegang peran penting dalam menciptakan atmosfer penuh empati dan dukungan.
Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
Pelatihan Guru tentang Kesehatan Mental Anak: Guru perlu dilatih untuk mengenali tanda-tanda gangguan emosional dan pendekatan tepat dalam mendampingi anak dari keluarga broken home.
Konseling Sekolah yang Proaktif: Bukan hanya menunggu anak datang, tetapi secara aktif melakukan pemetaan kebutuhan psikologis siswa.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!