Mohon tunggu...
kangdandy
kangdandy Mohon Tunggu... Mahasiswa

Cool

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Broken Home Bukan Akhir: Mendorong Dukungan Emosional di Sekolah Dasar

29 April 2025   19:22 Diperbarui: 29 April 2025   19:22 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak broken home(Sumber : https://rakyatsulsel.fajar.co.id)

Di balik keriuhan suara anak-anak Sekolah Dasar yang bermain dan belajar, tak jarang tersimpan kisah-kisah sunyi tentang luka keluarga. Salah satu yang paling sering terabaikan adalah pengalaman anak dari keluarga broken home---anak-anak yang hidup dalam bayang-bayang perceraian, konflik rumah tangga, atau kehilangan salah satu figur orang tua. Mereka duduk di bangku sekolah seperti anak lainnya, namun membawa beban emosional yang tak kasatmata.

Broken home bukan akhir. Kalimat ini bukan sekadar penghiburan, melainkan pernyataan penuh harapan bahwa masa depan anak-anak tersebut tetap bisa cerah. Namun, harapan itu perlu dijaga dan diperjuangkan, terutama melalui dukungan emosional yang berkelanjutan, salah satunya di lingkungan sekolah dasar---tempat di mana anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya.

Luka Sunyi yang Tak Terucap

Anak dari keluarga broken home sering menunjukkan tanda-tanda tekanan emosional, meski tak semua terlihat jelas. Beberapa menjadi murung dan menarik diri, lainnya justru memberontak, sulit diatur, atau mengalami penurunan prestasi belajar. Sayangnya, tidak semua guru memahami akar persoalan ini. Terkadang, anak yang "bermasalah" hanya dianggap nakal atau malas, tanpa upaya untuk menggali lebih dalam kondisi psikososialnya.

Padahal, anak-anak usia sekolah dasar masih berada dalam tahap perkembangan emosional yang sangat krusial. Ketidakhadiran dukungan yang tepat bisa membuat mereka tumbuh dengan luka batin yang dalam, mempengaruhi kepercayaan diri, rasa aman, dan hubungan sosial mereka kelak.

Sekolah sebagai Ruang Aman

Sekolah dasar bukan hanya tempat menuntut ilmu, tetapi juga seharusnya menjadi ruang aman bagi semua anak, terutama mereka yang tidak mendapat kestabilan emosional di rumah. Guru, staf sekolah, dan lingkungan belajar memegang peran penting dalam menciptakan atmosfer penuh empati dan dukungan.

Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:

  1. Pelatihan Guru tentang Kesehatan Mental Anak: Guru perlu dilatih untuk mengenali tanda-tanda gangguan emosional dan pendekatan tepat dalam mendampingi anak dari keluarga broken home.

  2. Konseling Sekolah yang Proaktif: Bukan hanya menunggu anak datang, tetapi secara aktif melakukan pemetaan kebutuhan psikologis siswa.

  3. Program Kelas Ramah Emosi: Mengintegrasikan pendidikan karakter, empati, dan komunikasi dalam kegiatan belajar.

  4. Kolaborasi dengan Orang Tua atau Wali: Sekolah bisa menjadi jembatan untuk mempertemukan dan memperkuat komunikasi antar pihak yang masih terlibat dalam pengasuhan anak.

Harapan yang Perlu Dijaga Bersama

Anak-anak dari keluarga broken home bukanlah korban selamanya. Mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang kuat, penuh empati, dan sukses asal diberi ruang untuk dipahami dan didukung. Ketika rumah tak mampu memberikan kehangatan, sekolah bisa menjadi tempat di mana anak merasa dilihat, dihargai, dan dikuatkan.

Sebagai masyarakat, kita perlu berhenti memberi label. Anak-anak tidak memilih untuk lahir dari keluarga yang retak. Yang mereka butuhkan bukanlah simpati kosong, melainkan sistem yang hadir dan peduli. Maka, mari dorong sekolah-sekolah dasar untuk menjadi lebih dari sekadar tempat belajar, tetapi juga rumah kedua yang mampu menyembuhkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun