Mohon tunggu...
Nur Azis
Nur Azis Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar sepanjang waktu

Bercerita dalam ruang imajinasi tanpa batas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mulutmu Memakanmu

19 Desember 2018   16:05 Diperbarui: 19 Desember 2018   16:23 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seperti sebuah kutukan. Lastri tak kunjung di pinang oleh laki-laki. Hatinya kalut, pikirnya makin gusar. Minggu depan, usianya genap tiga puluh lima tahun. Usia yang tak lagi muda.

Tetangga sudah mulai membicarakannya. Lastri dianggap perawan yang tidak laku. Tak ada laki-laki yang mau dengannya. Mereka beranggapan Lastri telah terkena kutukan.

Dulu, saat dia masih muda. Saat kulit wajahnya masih kencang, tak ada guratan seperti sekarang. Tubuhnya juga kelihatan berisi. Apalagi jika mengenakan kaos dan jeans ketat, membuat semua mata laki-laki tak bisa berpaling darinya.

Rohadi, laki-laki tampan, kulitnya putih, orang-orang menyebutnya mirip Lee Min Hoo artis Korea yang banyak di idolakan oleh gadis-gadis milenial, pernah mendekatinya. Namun Lastri menolak. Menurutnya, Rohadi miskin. Tak bisa membahagiakannya.

Tentu laki-laki itu sakit hati. Tak terima dengan penolakan Lastri, yang dianggapnya sangat menghina. Meski dia miskin, tapi Rohadi adalah pekerja keras. Setiap hari dia bekerja di tempat Juragan Marno. Sebagai tukang pemecah batu. Kurang keras bagaimana coba.

Memang sudah menjadi semacam tradisi. Di kampung itu, materi seakan menjadi hal yang sangat di agung-agungkan. Wanita-wanita yang cantik akan memilih laki-laki yang kaya raya. Hingga hal tersebut dapat mengangkat harkat dan martabatnya sebagai wanita yang dianggap cantik.

Setelah penolakan itu, sumpah Rohadi menggema. Di depan Lastri dia berucap. "Kamu akan menjadi perawan sampai tua, sampai kamu mati!!!" sambil dia menunjuk ke muka Lastri.

"Sumpahmu tidak bermutu." Bukannya takut, Lastri seakan menantang Rohadi.

Rohadi langsung balik badan. Dia seka air mata yang sedikit menetes di pipinya. Berlari, langsung ke rumah Mbah Kromo, dukun paling ampuh di kampung seberang.

Tanpa basa-basi, Rohadi minta bantuan Mbah Kromo. Membuat Lastri menjadi perawan tua hingga mati.

"Mbah ...." Sapa Rohadi, dengan muka memelas.

"Ada masalah apa Cah Bagus." Jawab Mbah Kromo, sambil menyembulkan asap putih dari bibirnya yang hitam dan tebal.

"Saya, butuh bantuan Mbah Kromo"

"Apa masalahmu Cah Bagus."

"Soal wanita Mbah."

"Baiklah, ceritakan"

Rohadi langsung menceritakan masalahnya dengan Lastri. Dia bilang sama Mbah Kromo, bahwa ingin memberi pelajaran pada gadis sombong itu. Biar tahu rasa. Biar tidak lagi menghina kepada orang-orang miskin seperti dirinya. Mbah Kromo langsung paham.

"Nasibmu sama denganku. Hehe ..."

"Sama bagaimana Mbah" Tanya Rohadi, penasaran.

"Dulu, aku juga di tolak, wanita di kampung itu. Katanya, aku miskin. Tak punya sawah, tak punya sapi. Dia memilih menikah dengan anaknya kepala desa, yang sudah memiliki istri dua. Kan edan." Cerita Mbah Kromo, matanya berkaca-kaca jika mengingatnya.

"Lantas ?"

"Lantas apanya"

"Mbah Kromo tidak sakit hati?"

"Iya tentu sakit hati. Sama sepertimu. Kemudian aku melakukan  pelarian. Aku belajar ilmu perdukunan. Ingin sekali kusantet wanita itu, namun, belum selesai masa belajarku, dia malah sudah meninggal duluan. Dengar-dengar di racun oleh istri suaminya yang lain."

"Tragis ya Mbah"

"Iya, tragis sekali. Tapi beruntung aku tinggal di kampung ini. Wanita disini lebih senang menikah dengan dukun daripada dengan orang-orang kaya."

"Kok bisa begitu Mbah?"

"Masalahnya, di sini dukunnya sudah kaya-kaya. Hahaha ...."

Rohadi mengerutkan dahinya, mendengar jawaban Mbah Kromo. "Ya, itu sama saja Mbah" jawabnya kesal.

"Cah Bagus, ini sudah kutulis semua disini. Tinggal kau amalkan." Mbah kromo menyerahkan catatan kepada Rohadi.

"Baik Mbah, akan saya amalkan. Semoga bisa mengobati sakit hati ini Mbah. Saya Pamit."

"Nanti dulu!!!"

"Apa lagi Mbah?"

"Kamu belum bayar biaya konsultasi Cah Bagus"

"Heheh ... maaf Mbah, lupa." Segera dia mengeluarkan uang dua puluh lima ribu, dan segera pamit.

Entah, gara-gara sumpah Rohadi atau memang stok laki-laki kaya dikampungnya sudah habis, nyatanya Lastri sampai sekarang masih melajang. Tak ada yang meminangnya.

Setelah sekian tahu, kehidupan Rohadi berubah. Dia sekarang kaya raya. Juragannya yang dulu, meninggal. Istri dan anaknya tak bisa melanjutkan bisnis yang saat itu memang sedang lesu. Rohadi diminta untuk mengurusnya.

Ditangan Rohadi, bisnis itu berkembang pesat. Hingga dia tinggalkan, dan mendirikan usaha atas namanya sendiri. Rohadi sangat berpengalaman di usaha tersebut. Sekarang karyawannya ada empat puluh. Omset per bulan mencapai ratusan juta. Rohadi menjadi incaran gadis-gadis cantik di kampungnya.

Tak mudah menghapus rasa cinta. Sama halnya dengan Rohadi. Dia tak mampu menghapus nama Lastri dari hatinya. Meski, dia pernah pernah dihina, sebagai laki-laki miskin yang tak pantas mendampinginya, Rohadi tetap mencintai Lastri.

Kali ini, dengan percaya diri, seperti laki-laki kaya yang lain. Dia mendatangi Lastri. Wajahnya lebih tampan, lebih bersih, aromanya juga harum. Sengaja dia jalan kaki. Semua mata orang-orang kampung memandangnya dengan penuh takjub. Gadis-gadis desa, semakin membayangkan, Rohadi meminang dirinya.

Lastri, mendengar kabar bahwa Rohadi akan datang meminangnya, girang bukan main. Pagi itu, dia sudah mandi tiga kali. Yang terakhir, dia mencampurkan bunga melati dan enam bunga yang lain. Perempuan yang sedang girang itu keluar masuk ke kamarnya lebih dari sepuluh kali. Mencoba semua pakaian terbaiknya, dan berdandan semaksimal mungkin. Semua itu, untuk membuat Rohadi terpesona.

Sampailah Rohadi di depan rumah Lastri. Sudah ada kedua orang tuanya, yang berdiri di depan pintu menyambut calon menantunya yang tampan dan kaya raya. Semua tetangga saling berdesakan melihat moment spesial itu.

"Silakan masuk orang paling tampan dan kaya" Sambut Badri, bapaknya Lastri, dari kejauhan.

Sebelum masuk, Badri melambaikan tangannya ke semua mata tetangga yang memandangnya di balik pagar rumah. Gadis-gadis yang turut melihat, berteriak histeris. Mereka semua memiliki doa yang sama. Yaitu pernikahan itu gagal. Hingga Rohadi bisa memilih mereka.

Rohadi masuk ke rumah. Disambut kedua orang tuanya. Mereka duduk di ruang tamu.

"Baiklah, ada perlu apa Nak Rohadi Lastrindang ke rumah kami yang jelek ini." Badri membuka pembicaraan.

"Jadi begini Pak Badri, maksud kedatangan saya kesini adalah untuk meminang anak gadis anda, Lastri"

"Lastri mau Nak ... Lastri bersedia ..." Jawab Parti, istri Badri, yang tiba-tiba nerocos.

"Bu, yang mau menikah itu Lastri atau kamu?" tanya Badri pada istrinya.

"Alah ... sama saja pak, pokoknya di kampung ini, hampir pemikiran kami sebagai perempuan itu sama. Saya yakin, Lastri pun akan  menjawab hal sama dengan Ibu." Jawab Parti dengan penuh percaya diri.

"Sudahlah ... percuma ngomong sama Ibu, sudah sana, panggil Lastri kemari!!!"

Parti segera ke belakang memanggil Lastri. Tak lama, wanita yang sebagian kecantikannya sudah hilang termakan usia itu, hadir di ruang tamu. Lastri membiarkan rambutnya yang panjang itu terurai. Sangat indah berkilau, baru saja dia keramas kemarin sore.

Rohadi tak dapat menahan pandangannya. Beberapa kali dia seperti menelan sesuatu di tenggorokannya. Tangannya meremas-remas, membayangkan Lastri ada di pelukannya.

Kali ini, Lastri berdandan total. Bibirnya yang tebal, semakin terlihat merah merekah. Seperti buah semangka, segar dan basah. Meski usianya tak lagi muda, tubuhnya menunjukkan bahwa dia wanita yang belum tersentuh. Rohadi, seperti melihat beberapa segel di bagian-bagian tubuh Lastri.

"Nak Rohadi"

"Nak Rohadi!!!" Bentak Badri.

Rohadi tersadar dari lamunannya. "Oh iya ... " Rohadi kelabakan, sampai hampir terjatuh di depan Lastri. "Maaf Pak ... sampai mana tadi?"

"Hehe ... Nak Rohadi itu lho, sudah ndak tahan ya?" gurau Parti kepada Rohadi.

"Saya jadi malu Bu" jawab Rohadi, dengan memalingkan pandangannya ke bawah.

"Nak Rohadi boleh kok mencobanya dulu"

"Hush ... Ibu itu ngomong apa? Masak, anak kok pakai coba-coba." Bentak Badri kepada Parti.

"Bercanda Pak"

"Bercanda? Lha kenapa dulu, Ibu tidak menawari seperti itu juga kepada Bapak?"

"Ya buat apa, Bapak kan miskin" Jawab Parti ketus.

"Maaf, ini mau dilanjutkan apa bertengkar saja" sela Rohadi.

"Oh iya, maaf Nak Rohadi. Biasa, kalau sama Ibunya Laras pengennya berdebat terus."

"Iya Pak, jadi bagaimana?"

"Lho, kalau itu, terserah dengan Lastri. Kami sebagai orang tua, ikut saja, toh nanti Lastri juga yang akan menjalaninya, Bukan kami. Iya to Bu?"

"Betul Nak Rohadi, kami orang tua, hanya sekedar memberi restu saja."

Badri mengarahkan pandangannya pada Lastri, yang duduk tepat di depan Rohadi. "Nduk, maksud kedatangan Nak Rohadi ke sini, bermaksud untuk meminangmu. Apa kamu mau?"

Lastri langsung meenyambar. "Mau ... mau ... mau Pak. Lastri mau menjadi istrinya kang Rohadi."

"Beneran Lastri? Bener kau mau menjadi istriku?" Rohadi setengah tidak percaya, setelah dulu pernah di tolak mentah-mentah, dan sekarang diterima.

"Bener kang, Lastri sudah menunggu saat-saat seperti ini, bahkan Lastri menunggu hingga bertahun-tahun. Untukmu Kang Rohadi."

Rohadi semringah. Senyumnya terbuka lebar. Matanya berbinar-binar, rasa kecewa dulu pernah ditolak seperti lenyap tersapu jawaban Lastri  yang baru saja dia dengar.

Pertemuan  itu pun diakhiri dengan bahagia. Semua tertawa, Rohadi akhirnya segera menikahi wanita pujaannya, dan Lastri akan segera mendapatkan suami yang kaya dan tampan diusianya yang tak lagi muda. Badri, menetapkan hari pernikahan.

Pesta digelar besar-besaran. Seluruh warga kampung diundang. Mereka semua dibebaskan, tidak perlu membawa amplop atau upeti yang lainnya. Semua ditanggung Rohadi. Berbagai menu disediakan. Mulai dari garang asem, sate kerbau, bakso kambing hingga soto palembang. Semua ada.

Pengunjung pun senang. Ada hiburan wayang orang. Pemainnya ganteng-ganteng, dan yang perempuan cantik-cantik. Ada sindennya juga, yang masih muda, suaranya merdu dan wajahnya enak untuk dipandang.

Rohadi duduk di kursi pelaminan dengan Lastri. Mereka tampak serasi. Tampan dan cantik. Para tamu memberikan ucapan selamat. Tamu-tamu itu selalu memandang sepuluh ekor sapi yang di ikat di depan rumah, sebagai mas kawin Lastri. Kontan, tidak kredit.

Hingga hampir tengah malam. Pesta telah usai, tamu-tamu sudah pulang. Badri dan istrinya sudah tidur. Rohadi mengajak Lastri masuk ke kamar pengantin. Saat-saat yang paling dinantikan oleh Badri. Hampir empat puluh tahun ia menunggunya. Ingin merasakan surganya dunia.

Keesokannya, kedua pengantin itu nampak biasa saja. Parti heran, melihat rambut Lastri yang tetap kering. Demikian juga Badri, dia heran, Rohadi tidak nampak seperti mengantuk atau kelelahan, dia terlihat seperti biasa.

"Nak Rohadi, kesini sebentar coba." Badri mengajak Rohadi berbicara empat mata.

"Iya Pak"

"Bagaimana malam pertamamu?" tanpa canggung, Badri menanyai menantunya dengan pertanyaan yang sangat privasi.

Rohadi menoleh ke Lastri memastikan, dia tidak mendengarkan percakapannya dengan Badri. "Gagal Pak ..." jawabnya pelan.

"Gagal bagaimana maksudmu"

"Sangat rapat Pak, seperti tidak ada jalannya"

"Tetap semangat Nak, cobalah terus"

"Iya Pak, Siap!!!"

Setelahnya, Rohadi langsung mencoba lagi. Namun gagal. Mencoba lagi dan terus gagal. Hingga bertahun-tahun, Rohadi tak berhasil menerobos pertahanan Lastri.

Hingga suatu malam, dia teringat sesuatu. Iya, sumpahnya dulu. Rohadi pernah menyumpahi Lastri, akan menjadi perawan seumur hidupnya. Dan sumpah itu benar adanya. Hingga Lastri tua, hingga meninggal, dia tetap masih perawan, meski sudah menikah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun