Setiap daerah punya tradisi. Pun soal hajatan, entah itu kawinan atau sunatan. Desa saya pun, demikian. Desa saya, namanya Desa Citenjo, sebuah desa kecil dengan jumlah penduduk 3000-an lebih. Letak desa saya, ujung timur dari Kabupaten Kuningan, dan masuk kecamatan Cibingbin, kecamatan yang berbatasan langsung dengan desa Penanggapan, desa yang masuk provinsi Jawa Tengah. Tradisi hajatan di desa saya, sarat dengan nuansa kebersamaan atau orang kota menyebutnya gotong royong. Menjelang hajat, tetangga yang punya niat hajatan sudah gasik membantu. Baik ibu-ibunya maupun para bapaknya. Bila hajatannya kawinan, akan ada dua regu penyebar undangan. Satu regu, adalah penyebar undangan, yang mengatasnamakan orang tua si mempelai. Satu regu lagi, penyebar undangan, khusus yang mengatasnamakan si mempelai. Untuk yang jauh, undangan standar dalam bentuk cetakan. Namun bagi yang dekat, katakanlah untuk yang sekampung, undangan bukan dalam bentuk cetakan. Misalnya, undangan dari si mempelai pria, berbentuk sebatang rokok. Tapi bila, dari si mempelai perempuan, seringnya shampo. [caption id="attachment_123797" align="aligncenter" width="300" caption="Ibu-ibu bantu-bantu"]
[/caption] Saat sehari menjelang hajatan, rumah si punya hajat sudah ramai. Tetangga dan kerabat datang banyak membantu. Yang laki-laki ditugaskan untuk pekerjaan seperti masak air, nguliti kambing, atau cuci gelas. Sementara ibu-ibunya, sibuk menyiangi sayur, dan masak-masak. Malam sebelum digelarnya hajatan, tradisi gaple di gelar. Pesertanya orang sekampung. Disediakan hadiah pula. Bila yang punya hajat orang mampu, kadang barang elektronik jadi hadiah. Namun yang sederhana, cukup baju-baju saja sebagai hadiah. Yang menarik, hadiah bagi juara terakhir adalah satu paket sayuran, ada terong, cabe, mentimun dan lainnya. Biasanya dulu, yang juara terakhir mesti rela di arak, pakai pakaian wanita, sambil menggendong hadiah paket sayurannya. Kini tak ada lagi. Saya sendiri tak tahu, kenapa tradisi itu dihilangkan. Kala hari hajatan tiba. Semua sibuk. Orang-orang yang bantu hajat, sudah disusun tugasnya oleh ketua panitia hajatan. Jadi jelas, siapa yang masak air, siapa pula yang membersihkan gelas, dan siapa pula yang mengantar minuman. Yang menarik, si juru masak air, di sebut sersan. Entah kenapa begitu. Tradisi lainnya adalah, ibu dan bapak yang datang menghadiri hajatan, semua bawa bekal. Si ibu, kebanyakan bawa beras dalam baskom, atau makanan. Nanti akan diterima tim khusus penerima dari si punya hajatan, yang terdiri dari para ibu-ibu. Atas bekal ondangannya, si punya hajat membalas dengan kue, dan makanan, seperti nasi dan sayur. Sementara si bapak, bekalnya adalah amplop berisi uang. Sebelum memberikan amplop, undangan bapak-bapak itu, dipersilahkan makan dulu di ruang makan dengan ala prasmanan. Baru setelah makan, ia akan memberikan amplop. Si penerima amplop juga terdiri dari dua grup. Satu grup, khusus menerima amplop bagi orang tua mempelai. Sementara satu grup lainnya, hanya menerima amplop bagi undangan khusus si mempelai. Untuk penerima amplop bagi orang tua mempelai, di tugaskan dua orang, yang tugasnya mencatat, amplop itu dari siapa saja. Di sediakan satu tong besar, untuk menampung amplop-amplop itu. Juga tak lupa, digelas disediakan batangan rokok. Jadi bila tamu undangan selesai makan, lalu memasukan amplopnya, dan ingin merokok bisa langsung comot. [caption id="attachment_123798" align="aligncenter" width="300" caption="penerima amplop orang tua mempelai"]
[/caption] Penerima amplop bagi si mempelai juga demikian. Ada tempat khusus. Yang ditugaskan biasanya kawan-kawan dekat si mempelai. Banyak tak seperti petugas penerima amplop orang tua mempelai yang hanya dua orang. Penampung amplop bukan kotak. Biasanya adalah tempat nasi yang terbuat dari alumunium. Katanya, perlambang rejeki. Di situ juga sama di sediakan batangan rokok dalam gelas. Jadi si tamu undangan dari pihak mempelai setelah makan, dan memberikan amplop bisa mengambil sebatang rokok, bila ingin merokok. Tradisi lainnya, adalah, tamu undangan sebelum masuk ruang makan, dipersilahkan duduk. Disediakan jejeran meja lengkap dengan kue-kuenya. Jadi bisa ngemil dulu, baru setelah itu melenggang ke ruang makan. Apalagi bila yang punya hajat nanggap semisal dangdutan, maka yang berhenti untuk ngemil sembari nonton goyangan si biduan, sebelum nanti menuju ruang makan. Hal lain yang menarik soal amplopnya. Di desa saya, ada semacam hitungan hutang kondangan. Saya ilustrasikan begini, bila saya pernah kondangan dan memberi amplop pada si A kala ia menggelar hajatannya, maka si A wajib membayar hutang saya, disaat saya berhajatan. Bila dulu saya memberi 50 ribu, biasanya, si A, akan menambahinya lebih dari 50 ribu. Ada semacam rasa tidak enak, bila kemudian hanya memberi sebesar yang saya berikan, apalagi kurang, dan terlebih lagi, bila ada jarak waktu. Jadi agak berbunga, ha..ha..ha.. Begitulah tradisi hajatan di desa saya...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Lihat Sosbud Selengkapnya