Mohon tunggu...
Muhammad Adib Mawardi
Muhammad Adib Mawardi Mohon Tunggu... Lainnya - Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Profesiku adalah apa yang dapat kukerjakan saat ini. 😊

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Miskin Harta Tak Berarti Miskin Harga Diri

17 Mei 2021   06:02 Diperbarui: 17 Mei 2021   06:51 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kerupuk karak (Detik Food)

"Neng, karaknya, Neng." Sapa seorang wanita paruh baya sambil menawarkan dagangannya pada Rayya.

"Karak? Apa itu Bu?" Wanita muda dengan penampilan khas gadis ibu kota itu balik bertanya lantaran penasaran dengan barang yang masih baru kali ini ia dengar.

"Itu lho, Neng. Beras yang dikeringkan dengan cara dijemur setelah dicampuri bumbu garam. Enak, Neng. Gurih rasanya setelah dimasak." Jelas si ibu penjual karak sambil menyodorkan salah satu dagangan yang ia bawa dengan nampan itu pada sosok gadis ayu yang ada di depannya.

"Ya. Sudah. Kalau begitu saya mau beli. Berapa harganya, Bu?"

"Sebungkus seribu lima ratus, Neng."


"Baiklah. Kalau begitu saya beli dua." Ucap Rayya sambil merogoh uang dari dalam sakunya. Sementara sang ibu penjual karak itu menyiapkan kantung kresek untuk membungkus barang yang hendak ia jual.

"Ini, ya, Bu." Rayya menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan pada ibu penjual karak. "Kembaliannya untuk ibu saja." Lanjutnya sambil mengulum senyuman.

"Neng, mohon maaf, ya. Saya di sini bermaksud untuk berjualan dan bukan untuk mengemis. Ini artinya, jika Neng bermaksud untuk membeli karak ini sebanyak dua bungkus, berarti uang yang diberi adalah tiga ribu rupiah. Jika Neng tidak mau, ya sudah, kembalikan karak saya. Saya mau menjualnya pada orang lain saja." Terang sang ibu penjual karak sambil merebut kembali dagangannya dari tangan Rayya.

Rayya memandangi sosok ibu yang berlalu meninggalkannya itu dengan perasaan campur aduk tak karuan. Ia benar-benar tak menyangka di tengah tidak jelasnya arus kehidupan zaman sekarang ini masih ada sesosok manusia yang memegang teguh prinsip hidupnya hingga sedemikian rupa.

*

Dialog tersebut merupakan salah satu potongan adegan dalam Film Rayya, Cahaya di Atas Cahaya yang naskah ceritanya disusun oleh Emha Ainun Nadjib dengan sutradara Viva Westi.

Meski kisah film tersebut telah dirilis pada tahun 2012 silam akan tetapi di dalamnya begitu kental dengan muatan pelajaran hidup yang amat berharga yang seakan tak pernah lapuk ditelan oleh zaman.

Film ini memfokuskan kisah tentang keadaan seseorang yang bernama Rayya yang tengah berjuang mencari kesejatian hidup di tengah gemerlap kehidupan. Ia sama sekali tak menyangka bahwa segala kesuksesan dan popularitas yang sedang disandangnya saat itu ternyata tak mampu mengantarnya menemukan kebahagiaan yang sejati. Hingga pada akhirnya ia pun sempat berencana untuk menghentikan hidupnya.

Namun, rencana tersebut pada akhirnya dapat ia pendam dengan dalam-dalam sebab di tengah keterpurukannya saat mencari arti kehidupan yang sejati ternyata ia telah dipertemukan dengan sosok-sosok luar biasa yang dapat menemukan kebahagiaan dengan sikap hidup dan kesederhanaan latar belakang mereka masing-masing.

Mereka yang tampak lemah dan sangat butuh bantuan dalam penilaiannya pada kenyataannya justru pihak yang berkeadaan sebaliknya.

Ia pun pada akhirnya menemukan sebuah kesimpulan, bisa jadi mereka yang ia anggap lemah itu nyatanya merupakan sosok-sosok yang kuat dalam berpendirian.

Mereka adalah sosok-sosok yang senantiasa berusaha berbaik sangka atas nikmat-nikmat Tuhan yang dititipkan pada mereka sehingga mereka pun berani menjalani kerasnya kehidupan ini dengan penuh ketenangan.

Mereka begitu yakin atas karunia nikmat Tuhan berupa kemampuan yang dititipkan pada diri mereka sehingga mereka pun tanpa rasa takut dan putus asa berjuang menjemput karunia-karunia Tuhan yang lain dengan tanpa bantuan orang lain.

Sementara itu, di sisi yang lain, ia juga disadarkan dengan keadaan yang sebaliknya. Sosok-sosok yang dari luar tampak begitu mapan ternyata tidak menutup kemungkinan bahwa mereka adalah sosok-sosok yang rapuh jiwanya sehingga mereka pun mengemis rasa iba dan menggadaikan harga diri demi meraup tambahan keuntungan.

Hanya dari luar saja mereka mungkin tampak kaya. Akan tetapi, dari sisi harga diri mereka tidak lebih mulia dari seseorang yang tampak fakir yang enggan meminta belas kasih orang lain demi memenuhi ambisi dan keinginannya.

*

Kawan, boleh saja kita beranggapan bahwa peristiwa yang ada di dalam film tersebut hanyalah fiksi atau rekayasa belaka pada zaman yang semakin tidak karuan ini.

Akan tetapi, jika kita mau lebih cermat untuk menyelami fakta yang tersaji di sekitar kita barangkali kita pun akan menemukan sosok-sosok yang tak kalah hebat dari sesosok ibu yang ada pada film tersebut.

Mereka adalah seseorang yang berani untuk tidak mengemis atau meminta bantuan pada pihak lain.  Mereka berani untuk tidak viral demi mendulang penghasilan-penghasilan semu. Karena setiap langkah mereka senantiasa diiringi dengan sikap kewaspadaan. Yakni, jangan sampai demi sesuap harta pada akhirnya justru menggadaikan harga dirinya. Sehingga mereka pun pada akhirnya mampu berpuasa dari bermacam syahwat dunia.

Berdasarkan cuplikan yang dapat kita temukan pada kisah ini, maka kiranya kita dapat menyimpulkan bahwa seseorang yang miskin harta itu belum tentu mereka juga adalah pihak yang miskin harga diri. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun