Mohon tunggu...
Taryadi Sum
Taryadi Sum Mohon Tunggu... Insinyur - Taryadi Saja

Asal dari Sumedang, sekolah di Bandung, tinggal di Bogor dan kerja di Jakarta. Sampai sekarang masih penggemar Tahu Sumedang

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Reklamasi Teluk Jakarta, Nelayan Bagai Burung Masuk Sangkar

19 September 2016   16:18 Diperbarui: 19 September 2016   16:34 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu ketika, pada sebuah diskusi kecil lebih dari sepuluh tahun yang lalu di Papua, seorang tokoh adat bertanya “Apakah yang disebut beradab itu kami harus mengikuti cara-cara kalian?,  Apakah kalian menganggap kami tidak beradab karena sebagian dari kami belum pakai baju, sebagian dari kami masih makan ubi mentah ?, sementara itu kalian jugalah yang merusak hutan dan sungai kami… kami hanya menebang beberapa pohon sagu untuk makan, tetapi kalian tebah habis seluruh pohon…. Apakah itu yang kalian namakan pembangunan…?”

Hampir seluruh peserta yang dari wilayah “barat” itu terdiam. Saya sendiri semakin kebingungan mendefinisakan pembangunan itu jika harus berada di fihak mereka yang hutan ulayatnya akan dialihfungsi.  Mereka yang biasanya asal ambil (peramu), tiba-tiba harus menanam sendiri bahan makanannya (petani).   Padalah, dalam pengertian umum, pembangunan salah satunya adalah meningkatkan produktivitas lahan. Dalam anggapan umum, orang yang makan roti peradabannya lebih tinggi dari yang makan nasi, yang makan nasi lebih tinggi dari yang makan sagu atau jagung.

Bergeser ke sebelah barat Nusantara yaitu Selat Malaka, ketika itu mau ada penataan kampung nelayan tradisional. Satu syarat yang mereka ajukan dan tidak boleh ditolak adalah agar rumah-rumah mereka tetap di pinggir pantai atau sungai. Alasannya, jika jauh harus selalu mencabut motor tempel dari perahu karena kalau tidak dicabut bisa dicuri maling. Dan itu sangat tidak efisien.

Bergeser lagi ke sebelah utara, ketika  dalam menyusunan rencana tata ruang wilayah sebuah kabupaten di Kalimantan.  Dalam beberapa pembahasan, WWF seringkali hadir karena salah satu area hutan yang akan dikonversi menjadi perkebuhan rupanya merupakan lintasan gajah. Organisasi lingkungan itu minta habitat gajah itu disisakan karena jika habitatnya diganggu, mereka lama-lama bisa punah.

Kini, konon pemerintah pusat akan melanjutkan megaproyek reklamasi pantai utara Jakarta. Beberapa hari lalu, Menko Kemaritiman mengatakan bahwa reklamasi itu harus tetap dilanjutkan  karena itu merupakanr “reputas negarai”. Untuk menangani dampak sosialnya,  Pemprov DKI akan membangun rusun-rusun apartemen.  Presiden Joko Widodo memerintahkan untuk mengurus 12 ribu keluarga nelayan tradisional yang habaitatnya akan terganggu.

Sejenak sebelum pesawat mendarat di bandara Soekarno Hatta, dari jendela kita akan bangga melihat megahnya pembangunan di pulau-pulau hasil reklamasi  di  salah satu muka Indonesia.  Namun ditempat yang lebih tersembunyi ternyata ada 12 ribu KK nelayan akan bernasib bagai  burung masuk sangkar.

Tak usahlah memikirkan bagaimana ribetnya mereka sebelum melaut harus menyiapkan perlengkapan kapal dan memasang motor tempel, dan melepasnya kembali setelahnya agar tidak ada yang nyuri.  Sayang, mereka tak seberuntung gajah dimana ada WWF yang mendediaksikan diri untuk melindungi habitatnya. Untuk para nelayan tradisional, mereka hanya mendapat cemoohan dan dianggap bodoh karena tidak mau direlokasi ke tempat lebih baik.

Tidak banyak yang mengerti bahwa anda butuh tambatan yang dekat rumah, butuh tempat menjemur ikan yang harganya belum bagus.....

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun