Baru sejam yang lalu kita bertemu, wajahmu layu, senyum manis yang dulu menjadi pemikat hatiku, engkau tukar dengan senyum pahit penuh rasa pilu. Sungguh kontras dengan fotomu lima tahun yang lalu, yang ku jadikan pegangan penanda seandainya kita di beri kesempatan jumpa di alam sana. Meski hanya mimpi, bagiku ini adalah nyata dalam perih.
Kinanti, Engkau selalu hadir dalam mimpiku. Menceritakan tentang tersiksanya perasaan oleh beban penghianatan, tercabiknya kesetiaan karena aku telah mencampakan dirimu di saat hujan rindu datang mengguncang. Sungguh sebuah kisah yang tak pernah ku jangka akan menimpa, menghancurkan ikrar setia yang telah sekian lama kita bina.
Bgaimana aku akan menyebut ini cinta, jika salah seorang dari kita harus menderita, sengsara, merana dalam ikatan janji yang tak berujung kepada pasti adanya.
Kinanti, bahumu terguncang, sekian derita engkau pendam kini memberontak hendak meledakan dada, airmatamu telah kering padahal telah berubah merah darah. Kecewa seperti apa yang mampu merubah segalanya, sakit yang bagaimana yang sanggup mencipta luka padahal jiwa telah lelah meronta, dan jika di runut sejak mula prahara ini tercipta, ternyata akulah penyebab segala derita.
Kinanti, jika pertemuan ini terjadi, benar benar terjadi, akankah Engkau masih sudi memeluk diriku sepenuh hati? menyandarkan bahumu kepada dadaku, menitikkan airmatamu hingga menikam penyesalan dalam hatiku.
Sesungguhnya aku ingin pertemuan ini segera terjadi, meski aku sendiri belum yakin bahwa aku mampu menyatakan permintaan maaf sebagai pengobat perih. Menatapmu telah meluruhkan keberanianku, berjumpa denganmu adalah beban terberat meskipun aku rindu.
Kinanti, ijinkan aku belajar mengucapkan kata maaf dalam mimpimu.
#####
Baganbatu, november 2022