Satu persatu gugur dalam perjalanan, dada berlubang tertembus peluru moncong senapan. Yang tertinggal hanya alas kaki penuh bercak lumpur di setiap sisi, tetes air mata yang mulai mengering, jeritan pedih melolong tinggi.
Satu persatu mengukir nama di atas batu nisan, beraksara mahadewa, beraroma cendana, bertutupkan kain sobekan bendera.
Hilang di terbangkan angin, menguar menuju langit malam, meresap kedalam tanah tak bercela, hingga tiada tersisa hendak berbagi cerita, tak berbekas ketika menjadi monumen sejarah.
Meringkuk di pergantian waktu, membeku di permainkan musim. Menggigil kala hujan memanggil dalam dingin. Matinya sahabat sejati adalah kemalangan tak terkira, seperti matahari terbit dari barat adanya.