Dalam jumlah ia bermakna, ketika sendiri tak lebih sebagai sampah. Begitu sumpah serapah bermula, begitu adanya makna diri terasa. Lupa apakah nyanyian perut telah terisi, menangis menjerit tak di ingat lagi
Sendiri berarti sepi, di ruang hampa makna berselimut nestapa, hanya lalat yang ambil peduli, jangan harap tangan halus kan menyapa dengan lembut, bibir bergincu kan menyambut dengan takjub. Itu kisah yang lalu, saat perut di pukul bertalu-talu, "lapar, lapar, nasi kerakpun aku mau"
Mengapa begitu mudah mencampakan nikmat, setelah terpenuhi segala hajat. Meniadakan yang telah di telan, memalingkan muka seakan tak memerlukan. Kasihan hanya kepada yang di butuhkan, hilang senyum tatkala tercapai tujuan
Teramat menyakirkan bila di kaji, teramat memilukan hendak peduli. Dua mata memandang tapi tak memaknai, hati tertutup bunyi perut telah berganti. "Sedaaapnya, mata mengantuk syarap peduli akhirnya mati"
Hari ini sebutir nasi menangis sendiri menghias piring, hari ini gadis kecil merintih perih di ujung jalan. Siapa yang peduli? Bahkan sekedar memandangnya pun tidak peduli
Bagan batu, seperti ketika itu