Rumpun bambu di persimpangan siang, daun berguguran ciptakan keriangan tak terpahamkan, sibuk bernyanyi dan berdendang mengiringi siang, tatkala matahari beradu kata dengan cakrawala
Air terjun Sigura-gura meraung mencipta pesona, percikan pada hati segala tetes tempat bermula, tuangkan hasrat memikat tanpa henti, gemericik hanya bisikan mencubit sanubari, sementara batu tergerus perlahan dengan mesra
Di suatu siang takala matahari bertemu rumpun bambu dan air terjun yang menanti, memasuki lorong peradaban mencari tempat untuk mengasingkan diri, ingin sekedar terasa sepi dari tepuk tangan yang menjemukan. Tapi semua lahan adalah nafsu, bergumulnya keinginan dan keserakahan yang menyatu
11.54 wib matahari hampir memuncaki terang, batang bambu berselonjor luruskan harapan, tiada lagi nyanyian pada sehelai siang dengan panas yang memanggang. Kemana kiranya segala pemahat semesta hendak menentukan karya?Â
Nah lengkap sudah aroma air terpanggang di bawah air yang membunca, matahari tak berkehendak berbagi ruang dengan semesta, daun bambu telah berjalan jauh melewqti aneka peristiwa. Sore ini, daun bambu pasti telah sampai di beranda matahari, mengucapkan salam sambil membawa bingkisan air terjun yang tak terganti
Berapa jam lagi? Mungkin setelah rumput dan ilalang tidur siang, atau menunggu terbakarnya samudera atlantik di terjang perang
Bagan batu di pertengahan siang
Kumpulan puisi "kemungkinan hatiku"