Mohon tunggu...
Kane Dhanya Vessantara
Kane Dhanya Vessantara Mohon Tunggu... Pelajar di Kolese Kanisius,Jakarta

-

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Di Balik Meja Panitia : Ratusan Jiwa yang Lelah demi Satu Mimpi

4 Oktober 2025   12:05 Diperbarui: 4 Oktober 2025   19:37 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil foto dari penulis

Pengantar

Pukul tujuh malam. Selasar Kolese Kanisius masih ramai dengan panitia yang berlalu-lalang membawa kardus, menata kursi, dan berbicara lewat handy-talky dengan nada lelah. Di sudut ruangan, koordinator bidang kepanitiaan saya duduk dengan wajah yang tak bisa menyembunyikan kelelahan---matanya sayu, bahunya turun, tapi tangannya masih sibuk mengetik di laptop. Ini baru hari ketiga CC Cup XL 2025, dan kami semua tahu masih ada empat hari lagi yang harus kami lalui.

Inilah pemandangan yang tidak pernah terlihat oleh penonton yang bersorak di tribun. Inilah cerita yang tidak tercatat dalam daftar pemenang. Ini adalah kisah para panitia yang memilih untuk lelah, memilih untuk bertanggung jawab, dan memilih untuk terus berdiri meskipun kaki sudah tidak sanggup melangkah lagi.

Rutinitas yang Menguras

Sabtu pagi pertama, alarm berbunyi pukul 5.30. Kami berkumpul di sekolah sebelum matahari sepenuhnya terbit. Briefing dimulai pukul 6.30, dan sejak saat itu hingga malam hari pukul delapan, kami tidak pernah benar-benar berhenti. Minggu, rutinitas yang sama terulang. Dua hari pertama itu terasa seperti maraton tanpa garis finis yang jelas.

Minggu berikutnya lebih brutal. Senin sampai Jumat, kami masuk sekolah seperti biasa, mengikuti pelajaran hingga pukul 12 siang. Lalu, tanpa jeda untuk benar-benar beristirahat, kami langsung berganti seragam dan bersiap untuk CC Cup yang berlangsung hingga malam. Pulang ke rumah pukul delapan atau sembilan malam sudah menjadi hal yang lumrah. Makan malam terburu-buru, mandi sebentar, lalu mencoba membuka buku pelajaran dengan mata yang sudah setengah terpejam.

Sebagai siswa kelas 12, minggu ketiga adalah mimpi buruk tersendiri. Ulangan harian menumpuk. Tugas research paper yang deadline-nya semakin dekat terus menghantui. Belum lagi ada Tryout, TKA dari pemerintah, Penilaian Tengah Semester, hingga persiapan SAT dan IELTS yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Semua berjalan bersamaan dengan CC Cup yang menuntut tenaga, waktu, dan fokus penuh.

Saya ingat satu malam, duduk di bus dalam perjalanan pulang, saya membuka kalender di ponsel dan melihat deretan jadwal merah yang bertumpuk. Rasanya seperti berlari di treadmill yang kecepatannya terus dinaikkan, dan saya tidak tahu kapan boleh berhenti.

Masalah Demi Masalah

Kalau ada yang berpikir bahwa menjadi panitia hanya soal datang, mengawasi lomba, lalu pulang, mereka salah besar. Setiap hari, kami menghadapi masalah baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Perlengkapan kurang. Stopwatch untuk lomba tiba-tiba hilang. Kursi yang sudah ditata rapi harus dipindahkan lagi karena ada perubahan venue mendadak. Personel yang harusnya jaga di pos tertentu tidak datang tanpa kabar. Koordinasi yang seharusnya sudah jelas di rundown ternyata salah dipahami oleh divisi lain, dan kami harus scrambling mencari solusi di detik-detik terakhir.

Yang paling menantang adalah bekerja dengan adik kelas yang masih---bagaimana mengatakannya dengan sopan---terlalu kekanak-kanakan. Ada yang menghilang saat dibutuhkan, ada yang lebih sibuk bercanda ketimbang menjalankan tugas, ada yang mudah tersinggung saat ditegur. Sebagai senior, kami harus belajar memimpin dengan sabar, meskipun di dalam hati rasanya ingin berteriak.

Tapi justru di tengah kekacauan itulah, sesuatu terbentuk dalam diri kami. Kami belajar bahwa masalah adalah bagian dari proses, bukan penghalang untuk berhenti. Kami belajar bahwa kepemimpinan bukan soal memerintah, tapi soal mengayomi. Kami belajar bahwa tanggung jawab bukan hanya soal menyelesaikan tugas, tapi soal tetap berdiri bahkan ketika semuanya terasa berantakan.

Momen yang Membuat Kami Bertahan

Ada momen-momen kecil yang membuat semua kelelahan terasa sepadan.

Saat kami menonton tim mini soccer Kolese Kanisius berlaga di lapangan, dan seluruh selasar dipenuhi oleh yel-yel supporter yang menggelegar. Chant demi chant berkumandang, dan untuk beberapa detik, kami melupakan rasa lelah. Kami hanya menjadi bagian dari kerumunan yang bersorak, yang bangga, yang bersatu dalam satu semangat.

Saat tim voli kami menang setelah pertandingan yang menegangkan, dan ekspresi wajah para pemain---campuran antara lega, bahagia, dan tidak percaya---membuat kami tersenyum tanpa sadar. Di tribun, penonton dari sekolah lain dan sekolah kami berbaur, tertawa bersama, bertepuk tangan bersama. Tidak ada sekat. Hanya ada kemenangan yang dirayakan secara kolektif.

Saat kami melihat peserta lomba badminton yang kalah tetap berjabat tangan dengan lawannya, tetap tersenyum meskipun air mata hampir keluar. Kami melihat bahwa CC Cup bukan hanya soal menang atau kalah. Ini tentang bagaimana kita belajar menerima hasil, menghormati lawan, dan tetap bangga pada diri sendiri.

Dan saat kami melihat wajah koordinator bidang kepanitiaan kami yang lelah itu akhirnya tersenyum lega ketika salah satu sesi lomba berjalan lancar tanpa hambatan. Senyum kecil itu, meskipun singkat, mengingatkan kami bahwa semua orang di sini sedang berjuang bersama.

Karakter yang Terbentuk di Balik Layar

Kelelahan itu sementara, tapi karakter yang terbentuk dari bagaimana kita menghadapi kelelahan itulah yang abadi.

Saya tidak pernah menyangka bahwa menjadi panitia CC Cup akan mengajarkan saya lebih banyak tentang hidup dibandingkan pelajaran apa pun di kelas. Di sini, saya belajar tentang tanggung jawab yang sesungguhnya---bukan yang tertulis di buku, tapi yang terasa di dada saat kita harus memilih antara istirahat atau menyelesaikan tugas demi kepentingan bersama.

Saya belajar tentang kerja sama tim yang sejati. Bukan hanya bekerja bersama saat semuanya mudah, tapi tetap solid saat segalanya kacau. Saya belajar bahwa kepemimpinan bukan soal jabatan, tapi soal inisiatif---tentang siapa yang mau melangkah duluan saat semua orang ragu.

Saya belajar tentang ketahanan mental. Bahwa tubuh mungkin lelah, tapi pikiran bisa memilih untuk tetap fokus. Bahwa kita lebih kuat dari yang kita kira, dan batas kita lebih jauh dari yang kita bayangkan.

Yang paling penting, saya belajar bahwa nilai dari sebuah pengalaman bukan diukur dari seberapa mudah atau menyenangkannya, tapi dari seberapa besar pengalaman itu membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik.

Penutup: Konser yang Menutup Segalanya

Sabtu malam, 27 September 2025. Panggung utama diterangi lampu warna-warni. The Changcuters dan Bernadya tampil dengan energi yang luar biasa. Ribuan siswa dari berbagai sekolah berkumpul, bernyanyi bersama, melompat bersama, merayakan akhir dari seminggu yang penuh perjuangan.

Saya berdiri di antara kerumunan, di samping teman-teman panitia yang sudah seperti keluarga sendiri setelah seminggu penuh bersama. Kami tidak di panggung. Kami tidak memegang piala. Tapi saat kami saling pandang dan tersenyum, ada perasaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Ini adalah momen di mana kita sadar bahwa semua kelelahan, semua masalah, semua pengorbanan---semuanya sepadan, karena kita tidak hanya menciptakan acara, tapi kita menciptakan kenangan dan membentuk diri kita sendiri.

Rasa bangga itu bukan datang dari pujian atau pengakuan. Rasa bangga itu datang dari kesadaran bahwa kami sudah memberikan yang terbaik, bahwa kami sudah menjalani tanggung jawab kami dengan penuh, dan bahwa kami sudah tumbuh menjadi pribadi yang lebih dewasa dibandingkan seminggu yang lalu.

Bagi saya, ini adalah CC Cup terakhir sebagai siswa Kolese Kanisius. Tahun depan, saya akan sibuk dengan hal-hal lain---kuliah, kehidupan baru, tantangan baru. Tapi pengalaman ini, pelajaran ini, karakter yang terbentuk di balik meja panitia ini---akan saya bawa selamanya.

CC Cup XL 2025 bukan hanya soal 214 sekolah yang bertanding. Bukan hanya soal 18 cabang lomba yang diperlombakan. Ini tentang 500 jiwa yang rela lelah, yang memilih untuk bertanggung jawab, dan yang belajar bahwa membangun karakter dimulai dari keputusan-keputusan kecil sehari-hari---untuk tetap berdiri, untuk tetap melayani, dan untuk tetap percaya bahwa semua ini ada maknanya.

Di balik kemeriahan yang terlihat, ada keringat, air mata, dan tawa yang tak terhitung. Dan itulah yang membuat CC Cup benar-benar istimewa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun