Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Mengapa Kita Perlu Memisahkan Dua Rakaat Tarawih dengan Doa atau Bacaan Taradhi?

19 April 2021   03:08 Diperbarui: 19 April 2021   03:12 1605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tatkala jamaah tarawih di masjid atau surau didirikan, pada beberapa tempat kita mungkin akan sering mendengar imam atau bilal salat menyerukan dengan lantang di sela-sela jeda rakaat, nama para sahabat yang menjadi khulafaur rasyidin. 

"Al-khalifatul ula sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq..." 

Demikian kurang lebih. Lalu dengan serempak jamaah yang hadir pun akan menjawab, 

"Radhiyallahu'anhu..." 

Lalu ada pula yang selanjutnya disambung dengan bacaan shalawat. Bila tidak menyebutkan nama sahabat, atau membaca shalawat, biasanya rakaat tarawih dipisahkan dengan doa. 


Beberapa dari kita mungkin bertanya, perlukah hal tersebut? Mengapa harus dilakukan? Bahkan mungkin ada yang penasaran dengan dalilnya, mengingat yang menjadi pokok kesunahan itu sebenarnya hanya salat tarawihnya saja. Mengapa pula kok mesti ditambahkan bacaan taradhi (menyebutkan kalimat "radhiyallahu'anhu") juga? 

*** 

Sebenarnya, jika kita mau merenungkan lebih dalam dibalik tujuan para ulama dahulu membumikan bacaan taradhi, shalawat, atau doa pada saat tarawih, kita akan menemukan hal yang luar biasa dibalik itu. 

Bukan dilakukan semata-mata tanpa sebab, tanpa alasan, karena sebenarnya membiasakan bacaan taradhi, sholawat, juga doa ketika salat tarawih adalah suatu bentuk "ijtihad" mulia para ulama salaf. Sebuah upaya mentradisikan hal baik, yang sebenarnya tidak sama sekali merupakan bid'ah yang menyalahi sunnah. 

Berawal dari sebuah hadis, 

Referensi
Referensi

Sahabat Mu'awiyah radhiyallahu'anhu berkata kepada Saib bin Yazid radhiyallahu'anhu: "ketika kau selesai salat Jum'at, maka janganlah engkau melakukan salat yang lain, sampai engkau berbicara atau keluar. Karena Rasulullah shallahu'alaihiwasallam telah memerintahkan kita untuk melakukan hal itu: yaitu tidak menyambung satu salat dengan salat yang lain, sampai kita berbicara atau keluar." (H.R. Muslim) 

Para ulama memahami maksud dari hadis tersebut, bahwa kita disunnahkan untuk berpindah tempat setiap kali selesai salat. Sebisa mungkin, jangan salat dua kali di tempat yang sama. Atau jika tidak memungkinkan untuk berpindah tempat, kita sebaiknya mengatakan sesuatu, sebagai bentuk nyata yang menjadi pemisah antara satu salat dengan salat yang lain. 

Tujuannya tak lain adalah agar semakin banyak tempat sujud yang kelak bisa menjadi saksi bagi kita di akhirat. Kita pernah sujud dimana saja: disini, disana, dan disitu. 

Referensi
Referensi

 

"Sunah untuk berpindah tempat saat melaksanakan salat sunah atau wajib menuju tempat yang lain dari tempat asalnya, supaya bisa memperbanyak tempat-tempat sujud. Karena tempat sujud itu kelak akan menjadi saksi bagi orang yang salat. Imam an-Nawawi mengatakan dalam kitab al-Majmu', 'Apabila ia tidak berpindah tempat, maka hendaknya memisahkan salat dengan kata-kata." (imam al-Khatib Asy-Syirbini, Mughnil Muhtaj il Ma'rifati Alfzhil Minhj, [Beirut, Darul Makrifat, cet I, 1997 M.], vol. I, halaman 282.) 

Namun realitanya, jika hendak mengamalkan hadis tersebut saat sedang melakukan jamaah salat tarawih, kita tak bisa membayangkan akan bagaimana kacau jadinya, apabila setiap kali selesai dua rakaat, para makmum harus berpindah atau bertukar tempat satu sama lain. Barisan shaf bisa berantakan, dan salat tarawih pun bisa-bisa menjadi tidak tertib dan tidak teratur. Apalagi jumlah rakaat tarawih cukup banyak, ditambah salat witir. Jadi, harus lebih dari sepuluh kali mengganti posisi shaf. 

Maka berpindah tempat merupakan hal yang sekilas sulit untuk dilakukan. Karena itulah, masih ada solusi lain. Yaitu, kita bisa memisahkan salat tarawih dengan kalimat yang bukan termasuk rangkaian salat. Sebenarnya bisa dilakukan dengan mengucapkan hal apapun. Bahkan mengobrol. 

Tapi, apa yang mungkin terjadi, jika setiap usai dua rakaat para makmum jamaah salat tarawih diajak berbicara hal yang tidak penting atau disuruh mengobrol? Apa yang hendak dikatakan? Bisa kacau pula, bila akhirnya setiap usai dua rakaat, para makmum saling berbicara sendiri-sendiri. 

Maka, untuk mensiasati hal tersebut, sambil tetap bisa mengamalkan hadis nabi Muhammad shallahu'alaihiwasallam diatas, ditambah juga bisa mendapatkan pahala kesunahan yang lain, para ulama salaf akhirnya ada yang mentradisikan untuk memisahkan salat tarawih dengan kalimat yang baik. 

Salah satu bentuknya adalah, para ulama mengajak masyarakat untuk membaca bacaan taradhi, karena barang siapa yang mendengar disebutnya nama sahabat nabi, maka sunah baginya untuk menjawab dengan kalimat taradhi: mengucapkan radhiyallahu'anhu. 

Atau jika bukan dengan taradhi, maka yang dibaca adalah shalawat. Imam juga membaca doa, agar yang bermakmum dibelakang bisa mengamini. 

Maka, mentradisikan bacaan taradhi, shalawat, dan doa sebenarnya termasuk "politisasi" pengamalan hadis dengan menemukan sebuah jalan keluar yang baik. Bukan termasuk amaliah tak berdasar, apalagi bid'ah. Sebab bila kita cari referensinya pun, tak akan ditemukan dalil yang melarang seseorang untuk berdoa, bersholawat, dan membaca taradhi. 

Lebih-lebih saat kita menggandeng bacaan shalawat dengan doa, maka kemungkinan dijawabnya doa juga akan semakin besar. 

Sedang menurut sejarahnya, sesuai keterangan Sayyid Zainuddin bin Muhammad bin Husein Al-Aydarus mengutip penjelasan dari Sayyid 'allamah Abdullah bin Mahfud al-Haddad, bahwa kebiasaan membaca taradhi disela-sela salat tarawih merupakan hal yang sudah sejak lama ditradisikan oleh ulama Hadramaut. Para ulama disana melihat gejala kebencian, yang ditandai dengan munculnya umpatan kepada para sahabat. 

Mencoba membendung hal tersebut, para ulama akhirnya mengajak masyarakat untuk membiasakan membaca nama-nama para sahabat nabi yang menjadi khulafaur rasyidin, lalu dijawab dengan taradhi, agar dengan terbiasa melantunkan taradhi yang bermakna doa juga sanjungan tersebut, orang-orang pada akhirnya dapat memuliakan dan menghormati para sahabat. 

Referensi
Referensi

  

"Terkait membaca taradhi bagi empat khalifah radhiyallahu'anhum ditengah-tengah salat tarawih setiap empat rakaat, yang biasa dilakukan di beberapa daerah, Sayyid 'allamah Abdullah bin Mahfud al-Haddad menjelaskan, bahwa bacaan taradhi bagi empat khalifah disela-sela salat tarawih disusun oleh ulama Hadramaut, karena adanya suatu tujuan agamis. 

Ulama Hadramaut menjadikan itu sebagai bentuk siyasah syariah, politisasi hukum. Karena Hadramaut pada waktu itu mengalami periode dimana para pemecah belah persatuan mencela para sahabat. 

Oleh karena itu, ulama Hadramaut menyusun bacaan taradhi ketika salat tarawih, agar meresap sikap memuliakan para sahabat. 

Hal itu merupakan perbuatan yang baik, bukan bid'ah yang sesat, tapi juga bukan sesuatu yang dilakukan nabi. Barangsiapa yang melakukannya, berarti telah berbuat baik. Dan yang meninggalkannya juga tidak mendapatkan dosa. 

Sedangkan membaca taradhi untuk para sahabat itu sendiri merupakan bentuk doa yang akan diganjar pahala bagi siapapun yang mengucapkannya." (Sayyid Zainuddin bin Muhammad bin Husein Al-Aydarus, Ittihaful Anam bi Ahkamis Shiyam [Maktabah Mujallid Arabi, cet III, 2016 M.], Hal. 201.) 

Artinya, tak ada yang perlu diragukan. Siapa yang hendak membaca taradhi ketika salat tarawih, maka sangat dianjurkan. Sebab sesuai tuntunan hadis, kita dianjurkan untuk memisahkan dua salat dengan berpindah tempat atau mengatakan sesuatu. Karena tak mungkin berpindah-pindah tempat pada saat salat tarawih, juga daripada mengatakan hal yang tidak beguna atau justru diam saja, lebih baik bila kita membaca shalawat, doa, atau taradhi.

Tapi jika tidak ikut membaca sama sekalipun tidak akan menjadi masalah. Karena tidak ada dalil yang mewajibkan. Namun tentunya, hal tersebut merupakan hal baik yang telah ditradisikan oleh ulama. Dan merupakan wujud konkret dari kepiawaian ulama salaf untuk menerapkan pengalaman sebuah hadis, dengan tetap sejalan pada situasi juga kondisi. 

*** 

Wallahu a'lam.

***

Tulisan ini pernah dimuat di AswajaMuda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun