Manusia mungkin memiliki cara tersendiri untuk bahagia. Strategi yang matang dan dengan optimis dicanangkan demi cita-cita mulia. Namun manusia hanya dapat berencana, juga mereka tak mampu begitu saja menolak karma.
Mao Zedong naik ke tampuk kuasa. Ia ingin majukan negerinya. Tak ingin rakyatnya kelaparan. Tentunya di negeri yang baru saja menemukan masa depannya, ia mendamba hari esok yang cerah.
Tanah pertanian yang terbentang luas adalah lumbung pangan. Namun, mata Mao Zedong melihat sebuah ancaman. Bukan Jepang atau Amerika Serikat, namun ia menangkap bahwa ada musuh alami bagi kelestarian makanan; burung pipit.
Logika mengatakan, burung pipit bisa mengancam hasil pertanian. Mereka adalah hama. Mereka mencuri biji-bijian para petani dengan jumlah yang tak wajar, kata orang. Lama-lama bila dibiarkan, hasil panen bisa jadi jatuh. Ketersediaan pangan akan menurun drastis. Tapi jika mereka punah, lumbung pangan mungkin akan terisi melimpah.
Kita juga mungkin akan bilang demikian. Saya pun begitu, waktu melihat dulu tanaman padi di sawah nenek yang terhampar menghijau, telah jadi surga untuk burung-burung gereja. Dengan segala cara nenek mengusir hama itu pergi, pakai orang-orangan sawah, atau kaleng bekas terpaut tali yang akan amat berisik jika ditarik dari gubuk sawah.
Perang melawan Chiang Kai Shek sudah usai bagi Mao Zedong. Sekarang adalah waktunya perang melawan hama burung pipit, yang mengancam masa depan Republik Rakyat China yang baru bangkit. Maka mendekati tahun enam puluhan, Mao Zedong mengeluarkan perintah genosida bagi burung pipit.
Akhirnya burung pipit dibasmi dimana-mana. Ditembak, ditangkap, dan sarang mereka dimusnahkan. Dengan berbagai cara, orang China mencegah agar burung pipit tak dapat makanan.
Itu adalah hari-hari yang suram bagi sejarah para burung. Mereka terperangkap di negeri yang luas, dimana mereka sudah seperti pemberontak yang hendak meruntuhkan negara. Terbang kemanapun, jangan sampai ketemu manusia, atau tamatlah riwayat hidup mereka.
Rencana Mao Zedong sukses besar. Perlahan-lahan populasi burung pipit menurun drastis. Mungkin sudah diambang kepunahan. Masa depan cerah tentang panen yang berlimpah tak "dicuri" sedikitpun oleh hama, sudah didepan mata bagi Mao Zedong. Ia pikir, apa yang dilakukannya sudah benar.
Namun hari yang cerah mendadak berganti badai tanpa pertanda mendung. Burung pipit hampir punah, maka populasi hama lain mendadak meningkatk drastis. Tidak ada yang memangsa ulat atau belalang lagi. Maka hama itu bisa beranak pinak hingga mencapai ledakan populasi. Mereka tumbuh tak terkendali. Kiranya tiada tindakan yang sepenuhnya bebas risiko.