Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Kita Masih Bicara di Luar Kredensial?

1 Oktober 2020   05:21 Diperbarui: 1 Oktober 2020   05:24 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Apakah yang kita bicarakan adalah sesuatu yang berguna? (sumber: irancartoon.com)

Apakah rasa malu tak mengatakan kepada kita, mengapa dengan lantang kita bisa mengkritik pemerintah, entah pemerintah benar atau salah, meskipun tidak sama sekali paham politik, tapi tak malu mengharap bantuan subsidi? Bahkan saat terjadi bencana alam, menjadikan bantuan pemerintah sebagai "satu-satunya harapan"?

Berkali-kali kita terjebak dalam debat kusir, yang kalau berpikir dengan jernih, sebenarnya kenapa sih kita harus ikut campur? Mungkin agar mendapatkan apresiasi, dianggap sebagai orang yang kritis dan peduli pada negeri? Seorang aktivis hak asasi yang mungkin suatu hari nanti layak masuk nominasi hadiah Nobel.

***

Hal yang tak menyenangkan saat terjebak rutinitas, adalah saat mulai bosan dan akhirnya melupakan tujuan awal. Bila sekedar lelah, mungkin sebenarnya kita bisa istirahat sejenak. 

Tapi bila sudah menyangkut rasa "keharusan" dan tanggung jawab (yah, sekedar "rasa" sebab sebenarnya juga tak ada yang menyuruh), yang sebenarnya juga bukan kewajibannya, orang kadang jadi kehilangan kontrol dan objektivitas. Akhirnya kadang bicara isu-isu sensitif meskipun tak benar-benar mengerti, atau mengomentari suatu masalah walaupun tak betul-betul memahami.

Ikut-ikutan membahas isu komunisme, mencari bukti-bukti kebangkitan PKI, apakah paham dengan apa yang sedang dibicarakan? Jika sehari-hari hanyalah sibuk terkungkung pekerjaan di kantor. Entah sejak kapan kita jadi harus dipusingkan dengan begitu banyak hal yang sebenarnya bukan urusan kita semacam itu.

Saya ingat kata-kata Ariel Noah suatu kali, saat ditanya "kenapa dia jarang berkomentar akan isu-isu hangat?" Jawabnya bijak sekali, bukan sekedar karena diam itu emas. 

Tapi saat kita mengatakan sesuatu, belum cukup kita paham betul konteks dan kebenarannya saja, tapi kita juga harus mempertimbangkan kepada siapa kita bicara. 

Orang lain belum tentu mengerti, dan tidak semuanya bisa menangkap apa esensi kata-kata kita. Sehingga rawan muncul kesalah pahaman. Saya mengerti, sebab sudah wataknya orang kadang buru-buru inginnya gatal segera berkomentar. Kurang lebih demikian.

Di negara yang bebas siapa mengkritik siapa, tentunya harus tahu diri dalam berbicara. Berpikir dalam-dalam sebelum menulis. Didiskusikan matang-matang sebelum sebuah acara tayang. Indonesia menjunjung tinggi budaya ketimuran, yang terkenal sopan santunnya. Oleh sebab itulah seharusnya dengan bangga kita dikenal.

Sekian curhat paginya...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun