Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Kita Masih Bicara di Luar Kredensial?

1 Oktober 2020   05:21 Diperbarui: 1 Oktober 2020   05:24 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Apakah yang kita bicarakan adalah sesuatu yang berguna? (sumber: irancartoon.com)

Masih hangat dalam ingatan kita, pada sebuah acara di salah satu stasiun televisi swasta, dimana mbak Najwa Shihab adalah pemilik panggungnya, acara malam itu jadi menarik, sebab bintang tamunya berhalangan datang tapi acara tetap lanjut jalan.

Saya tak menonton secara penuh bagaimana "keseriusan" mbak Nana berbicara sendirian, hanya nonton lewat cuplikan. Entah saya lihat di Twitter atau dimana, saya juga lupa. 

Tapi rasanya mau nonton acara tunda di kanal YouTube juga malas sekali. Karena sudah "kenyang" dengan beberapa opini orang yang lalu lalang di media sosial tentang acara itu.

Entah mengapa tiba-tiba muncul tulisan opini semacam itu, mungkin karena aktual. Inginnya tidak mau tahu, tapi kok ya muncul dan muncul lagi. Terpaksa saya jadi tahu.

Beberapa yang saya ingat, ada yang bilang dengan sangat percaya diri kenapa acara itu tetap tayang adalah karena mengejar ratting. Kadang membaca tulisan seperti itu rasanya kesal sekali. Apakah iya seperti itu? Apakah sudah konfirmasi? Apakah bisa dipertanggungjawabkan? Akhirnya saya ingat kalau tulisan itu hanyalah opini.

Dengan kredensial yang bukan bidangnya, orang bisa bicara apa saja sepuasnya, bahkan kadang "tanpa takut salah". Yang bukan dokter, kadang sok tahu sekali dengan masalah vaksin dan virus. Sedangkan yang jadi dokter malah jarang sekali angkat bicara.

***

Deadline memang sudah menuntut banyak hal. Acara televisi seminggu sekali, yang meskipun bintang tamu tidak datang tetap harus tayang, lebih-lebih karena siaran langsung.

Menjadi kolumnis, dan dituntut mengasuh rubrik di sebuah koran seminggu sekali, juga rasanya saat sedang tidak ingin nulis tapi kok ya sudah hari Minggu. Sudah jatahnya terbit, maka mau tidak mau harus bikin opini sekian ribu kata, walaupun isinya "ngelantur". Meskipun isinya jadi tak menarik lagi.

Hidup di negeri yang makmur dan damai sejahtera, juga jauh dari perang saudara seperti Indonesia memang kadang bikin para pembuat "konten" pusing kepala. 

Jika penulis, entah apalagi yang bisa ditulis. Jika hidup di lingkungan televisi, sebagai tim kreatif entah apalagi yang harus dibahas dalam sebuah acara. Jadi podcaster juga lama-lama kehabisan bahan.

Akhirnya tak ada yang menarik lagi untuk disimak, selain kadang cuma opini yang hampa dan terkesan dibuat-buat, acara televisi yang kurang berkualitas, dan obrolan podcast yang membahas teori konspirasi.

Karena menayangkan sesuatu yang mengedukasi kadang kurang diminati. Acara sejenis film dokumenter mana yang bisa bertahan selama bertahun-tahun? Kita juga bisa melihat gejala "televisi masa depan" yang "mati" dan kalah dari tayangan sinetron.

Tapi itu mungkin hanya opini saya yang tidak penting. Sekedar luapan kebosanan karena seharian nonton televisi dan tak ada acara yang benar-benar menarik. Berita siang dan sore pun hanya menampilkan liputan yang sebenarnya tidak begitu penting.

Dan kita tidak selayaknya berharap terjadi peristiwa besar seperti pesawat jatuh. Itu pasti akan menjadi pemberitaan yang tiada henti, setiap detil diumumkan. Bahkan mungkin saat tim SAR menemukan "sebuah baut dan sepotong besi."

***

Akan tetapi sebenarnya kita bisa kreatif dalam berkarya, jika yang dikejar bukan popularitas dan pengikut. Kita bisa menjangkau area-area yang tak terjamah saat menulis, misalnya. Atau bisa merekam gambar-gambar hingga tempat yang belum terjangkau manusia. Meskipun itu tidak menarik.

Hal yang terpenting adalah stamina, dan kejelian untuk menampilkan tema-tema yang tak terpikirkan. Ada apa dibalik lukisan Picasso? Mungkin belajar bijaksana dengan menggali hikmah sebuah peristiwa.

Alih-alih "kehabisan" bahan dan akhirnya mengomentari kinerja pemerintah. Atau membahas jumlah pasien yang positif covid-19. Indonesia ada di peringkat berapa? 

Atau, mungkin membahas hal yang aktual, walaupun sesaat, yah mana ada hal yang aktual selamanya? Orang pasti bosan terus-terusan membahas apakah kata ***** misalnya termasuk kalimat yang sopan atau tidak.

Kalau dipikir-pikir apakah hal semacam itu sebegitu pentingnya bagi kita? Sampai kita kok harus tahu sedetail-detailnya.

Apakah rasa malu tak mengatakan kepada kita, mengapa dengan lantang kita bisa mengkritik pemerintah, entah pemerintah benar atau salah, meskipun tidak sama sekali paham politik, tapi tak malu mengharap bantuan subsidi? Bahkan saat terjadi bencana alam, menjadikan bantuan pemerintah sebagai "satu-satunya harapan"?

Berkali-kali kita terjebak dalam debat kusir, yang kalau berpikir dengan jernih, sebenarnya kenapa sih kita harus ikut campur? Mungkin agar mendapatkan apresiasi, dianggap sebagai orang yang kritis dan peduli pada negeri? Seorang aktivis hak asasi yang mungkin suatu hari nanti layak masuk nominasi hadiah Nobel.

***

Hal yang tak menyenangkan saat terjebak rutinitas, adalah saat mulai bosan dan akhirnya melupakan tujuan awal. Bila sekedar lelah, mungkin sebenarnya kita bisa istirahat sejenak. 

Tapi bila sudah menyangkut rasa "keharusan" dan tanggung jawab (yah, sekedar "rasa" sebab sebenarnya juga tak ada yang menyuruh), yang sebenarnya juga bukan kewajibannya, orang kadang jadi kehilangan kontrol dan objektivitas. Akhirnya kadang bicara isu-isu sensitif meskipun tak benar-benar mengerti, atau mengomentari suatu masalah walaupun tak betul-betul memahami.

Ikut-ikutan membahas isu komunisme, mencari bukti-bukti kebangkitan PKI, apakah paham dengan apa yang sedang dibicarakan? Jika sehari-hari hanyalah sibuk terkungkung pekerjaan di kantor. Entah sejak kapan kita jadi harus dipusingkan dengan begitu banyak hal yang sebenarnya bukan urusan kita semacam itu.

Saya ingat kata-kata Ariel Noah suatu kali, saat ditanya "kenapa dia jarang berkomentar akan isu-isu hangat?" Jawabnya bijak sekali, bukan sekedar karena diam itu emas. 

Tapi saat kita mengatakan sesuatu, belum cukup kita paham betul konteks dan kebenarannya saja, tapi kita juga harus mempertimbangkan kepada siapa kita bicara. 

Orang lain belum tentu mengerti, dan tidak semuanya bisa menangkap apa esensi kata-kata kita. Sehingga rawan muncul kesalah pahaman. Saya mengerti, sebab sudah wataknya orang kadang buru-buru inginnya gatal segera berkomentar. Kurang lebih demikian.

Di negara yang bebas siapa mengkritik siapa, tentunya harus tahu diri dalam berbicara. Berpikir dalam-dalam sebelum menulis. Didiskusikan matang-matang sebelum sebuah acara tayang. Indonesia menjunjung tinggi budaya ketimuran, yang terkenal sopan santunnya. Oleh sebab itulah seharusnya dengan bangga kita dikenal.

Sekian curhat paginya...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun