Mohon tunggu...
Kamila Sofi Nurraya
Kamila Sofi Nurraya Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

menulis adalah sebuah keberanian (Pramoedya Ananta Toer)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Korupsi dan Pembangunan Masyarakat Desa di Indonesia

28 April 2024   15:04 Diperbarui: 28 April 2024   15:04 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Korupsi dan Pembangunan Masyarakat Desa di Indonesia

Penulis: Kamila Sofi Nurraya

Seperti kita ketahui bahwa Indonesia masih menempati rating tertinggi dalam masalah korupsi. Menurut Fahri Zulfikar dalam tulisannya yang dimuat dalam dalam "detikedu" Jumat, 16 Februari 2024, dengan judul "Ini 10 Negara Paling Korupsi di Dunia" menyatakan, Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perceptions Index (CPI) telah menilai negara paling korup di dunia. Berdasarkan relis CPI 2023, Indonesia mendapatkan skor 34 dalam skala penilaian 0-100. Angka ini menunjukkan korupsi di Indonesia masih sangat tinggi dibandingkan rata-rata global yang hanya berada pada angka 43. Dengan skor tersebut, Indonesia menempati peringkat 65 terburuk soal korupsi dari total 180 negara yang dinilai.

Dengan demikian dapat dipahami, korupsi di Indonesia telah menggurita merasuki seluruh sendi kehidupan dalam masyarakat. Perilaku korupsi itu terjadi hampir disemua tingkatan. Tidak saja terjadi di pemerintahan pusat dan daerah, tetapi juga telah merambah pada sendi-sendi lapisan terkecil di pemerintahan desa. Faktanya, banyak berita-berita di media massa misalnya yang menyebutkan kepala desa A terjerat kasus korupsi penggunaan dana desa, dan lain sebagainya.

Hadirnya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa "sesungguhnya menjadi kabar yang menggembirakan bagi berbagai pihak khususnya para pegiat pengembangan masyarakat desa". Dengan hadirnya Undang-Undang tersebut, desa tak lagi menjadi objek pembangunan, melainkan menjadi subjek pembangunan.

Sebagai konsekuensi atas berlakunya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 ini, maka pemerintah pusat pada saat ini mengcucurkan anggaran dana yang cukup besar untuk masing-masing desa. Akan tetapi SDM yang ada di pemerintahan desa sangat terbatas. Disisi lain dominasi Kepala Desa dalam pengambilan keputusan dan keuangan cukup kuat. Oleh sebab itu, sebagai dampak atas bergesernya pemahaman desa sebagai subjek pembangunan, maka sudah seharusnya kompetensi tata kelola keuangan desa wajib ditingkatkan. Hal ini senada dengan pendapat Sujanarko, Direktur PJ-KAKI KPK yang menyampaikan bahwa sebagai subjek pembangunan, desa harus meningkatkan kualitas program maupun keluaran-nya melalui audit keuangan dan berbagai paradigma baru yang muncul bersamaan dengan meningkatnya kapasitas desa.

Oleh sebab itu Penulis juga berpendapat, bahwa pengembangan kapasitas SDM aparatur desa sangat penting untuk ditingkatkan. Prinsip good governance harus dilaksanakan, yakni keterlibatan masyarakat (partisipasi), keterbukaan (transparansi) dan pertanggungjawaban (akuntabilitas). Jika hal ini dilakukan maka dapat meminimalisir resiko korupsi yg bakal terjadi. Bisa dibayangkan, dana yang begitu besar dikeluarkan setiap tahun, sekitar 1 milyar rupiah lebih, jika dikelola asal-asalan maka resikonya juga sangat besar.

Seperti yang disampaikan oleh Almas Syafrina, Peneliti ICW dalam paparannya yang dimuat di kompas.com tanggal 12 Agustus 2017 lalu mengatakan, ada banyak faktor yang mendorong terjadinya korupsi dana desa, misalnya kurangnya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengawasan dana desa, serta terbatasnya kompetensi kepala desa dan perangkat desa dalam pengelolaan dana desa. Faktor lain yaitu tidak optimalnya lembaga-lembaga desa seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam pengawasan anggaran, dan juga penyakit biaya politik tinggi akibat kompetitifnya arena pemilihan Kepala desa.

Almas Syafrina, menyampaikan bahwa kepala desa merupakan aktor terbanyak ketiga yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Kasus korupsi di desa rupanya juga menjadi kasus yang paling banyak ditindak aparat penegak hukum dalam tiga tahun terakhir dengan berbagai modus di antaranya penggelapan, mark up, dan penyalahgunaan wewenang.

Banyak orang bertanya-tanya, mengapa anggaran desa bisa dikorupsi? Dalam kaitan ini Almas memaparkan bahwa banyak alasan yang menjadi latar belakang korupsi dana desa mulai dari tingginya biaya menang pilkades, adanya intervensi dari pejabat di atas kades, tertutupnya pengelolaan anggaran, hingga minimnya pelibatan warga dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa. Korupsi di tingkat desa dapat terjadi melalui salah satu modus atau  gabungan di antara beberapa modus tersebut. Pada akhirnya, hak masyarakat desa-lah yang kembali tercederai. Mereka tidak dapat merasakan dampak pembangunan sebagaimana mestinya.

Permasalahan korupsi di tingkat desa merupakan masalah yang kian kompleks selama bertahun-tahun lamanya. Sebagai upaya untuk memberantasnya, Sujanarko Direktur PJ-KAKI KPK menyampaikan bahwa diperlukan pendekatan dengan komunitas, di mana solusi yang diupayakan untuk menyelesaikan kasus korupsi harus disesuaikan dengan kebutuhan desa sebab tidak ada satupun obat yang dapat memberantas seluruh kasus korupsi tanpa kecuali. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun