Ada satu fase dalam hidup yang tak bisa disamakan dengan masa apa pun yaitu masa di pondok. Ia bukan sekadar tempat menimba ilmu agama, atau lingkungan berdisiplin tinggi yang mengatur setiap gerak-gerik. Ia adalah dunia kecil yang penuh warna. Tempat kita pertama kali belajar hidup dalam keterbatasan, namun menemukan kehangatan yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Di balik pagar pondok, kami tumbuh bersama dalam ruang yang sederhana, dengan aturan yang tak bisa ditawar, dan jadwal yang tak pernah bisa dinegosiasikan. Tapi justru di ruang sempit itu, hati kami lapang. Justru di rutinitas yang padat itu, tawa kami sering pecah. Dan justru dalam kebersamaan yang dipaksa keadaan, tumbuh rasa sayang yang begitu alami.
Kami hafal suara bel yang mengatur hidup, dari bangun tidur hingga tidur kembali. Kami tahu aroma kamar mandi saat subuh, tahu siapa yang paling lama antre mandi, tahu siapa yang sering curi-curi tidur usai tahajud. Kami terbiasa dengan kamar yang ramai, kasur tipis yang saling bersentuhan, dan lemari kayu yang berisik saat dibuka diam-diam di malam hari.
Dulu, dihukum berjamaah karena telat balik dari koperasi rasanya malu bukan main. Dikenai sanksi dijemur karena ngobrol di jam istirahat terasa berat. Tapi kini, semua itu menjadi cerita paling ikonik saat kami bertemu. Dulu kami berharap waktu cepat berlalu, tapi sekarang kami berharap waktu bisa diputar kembali, hanya untuk bisa merasakan sekali lagi kebersamaan yang begitu utuh dalam hal sekecil apapun.
Begadang bukan hal luar biasa bagi kami karena kami melakukannya untuk banyak alasan: setoran hafalan yang belum siap, curhat soal perasaan yang tak bisa diungkap di siang hari, atau sekadar menyelesaikan novel yang disembunyikan di balik tumpukan kitab. Kadang kami menangis, kadang kami tertawa, kadang kami diam dalam kebersamaan yang nyaman.
Kami tumbuh bukan hanya sebagai teman sekamar. Kami menjadi saksi perjuangan satu sama lain: saat ada yang drop karena rindu rumah, saat ada yang ingin menyerah karena tak kuat ditekan peraturan, saat ada yang jatuh, dan yang lain tak ragu untuk mengulurkan tangan.
Kami saling tutupi saat razia HP. Kami kompak pura-pura tidur saat patroli keliling. Kami saling kirim makanan dari jatah dapur, saling bagi detik terakhir air galon, bahkan saling pinjam mukena saat terburu-buru ke masjid. Hal-hal yang kini terlihat sepele, tapi dahulu adalah bentuk tulusnya rasa sayang.
Dan ya, kami pernah nyontek bareng, panik bareng, bahkan dihukum bareng. Tapi kami juga belajar bareng, bertumbuh bareng, dan akhirnya meninggalkan pondok dengan bekal kenangan yang tak mungkin bisa dibayar oleh waktu dan uang.
Sekarang, hidup membawa kami ke arah yang berbeda. Ada yang kuliah di luar negeri, ada yang sibuk di kampung halaman, ada yang kini bergelut dengan karier atau keluarga. Kami sudah tak lagi tinggal dalam satu tembok, tapi hati kami masih membawa aroma pondok.
Silaturahmi tetap kami jaga, walau mungkin tak sesering dulu. Ada yang berjumpa saat buka puasa bersama, ada yang bertemu di undangan pernikahan, dan ada pula yang hanya bersua lewat video call sambil mengenang masa-masa itu. Grup WhatsApp kami mungkin sepi, tapi begitu satu foto lama dikirimkan, semua langsung ramai kembali.