Mohon tunggu...
kamila abiyyahdiati
kamila abiyyahdiati Mohon Tunggu... mahasiswa ilmu komunikasi

hobi menulis apa yang ada di pikiran. 24107030121

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Gorrilaz: Saat Buah Menyatu dalam Mangkuk, Terciptalah Sebuah Keteguhan

13 Juni 2025   18:40 Diperbarui: 13 Juni 2025   18:40 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah sudut jalanan kota yang mulai ramai oleh lalu-lalang kendaraan dan aktivitas kampus, berdiri satu warung sederhana yang tampak biasa dari luar. Namun, bagi banyak pelanggan setianya, tempat ini bukan sekadar tempat melepas dahaga. Warung kecil bernama Gorillaz itu adalah saksi perjalanan panjang seorang perempuan bernama Yuli dan suamninya, yang telah mengarungi pasang surut kehidupan lewat semangkuk es teler.

Hari itu, angin berembus pelan, dan meja-meja kecil di depan warung mulai terisi pelanggan yang ingin menikmati sajian segar. Di balik etalase penuh buah potong dan es batu, Ibu Yuli melayani sambil tersenyum. Usianya kini 45 tahun, dan hampir dua dekade telah ia lalui dengan berdagang minuman segar: jus, es buah, dan tentu saja es teler andalannya. Tapi di balik senyumnya yang ramah, ada cerita penuh perjuangan yang tak semua orang tahu.

Semua bermula pada pertengahan 2000-an, ketika Yuli belum menikah. Suaminya kala itu sudah lebih dulu berjualan es teler di area kampus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Mereka berjualan di sebuah foodcourt yang cukup ramai pengunjung. Tahun demi tahun dilewati, dan dagangan mereka mulai dikenal. Namun, pada tahun 2006, bencana datang tanpa peringatan.

Gempa besar mengguncang Yogyakarta. Banyak bangunan hancur, termasuk tempat mereka biasa berjualan. "Waktu itu bukan cuma usaha yang hilang, tapi juga rasa aman," kenang Yuli. Apalagi saat itu ia sedang mengandung, membuatnya harus benar-benar vakum dari aktivitas berdagang dan fokus pada kehamilan serta merawat bayi.

Tahun 2007 menjadi titik balik. Setelah keadaan sedikit membaik, Yuli mencoba bangkit. Ia memberanikan diri membuka usaha kembali bukan di tempat semula, melainkan di depan rumah sendiri. Jalan di depannya saat itu masih sepi. Suaminya sempat ragu. "Ini cuma rumah, siapa yang bakal beli?" begitu katanya waktu itu.

Namun, keraguan itu tidak menghentikan langkah Yuli. Justru dari kekhawatiran itulah lahir nama "Gorillaz" sebuah nama yang mencolok dan mudah diingat. "Biar orang penasaran, kok ada 'Gorillaz' jualan es?" katanya sambil tertawa. Dan benar saja, nama itu menarik perhatian. Orang mulai mampir, mencicipi, dan datang kembali. Pelan-pelan, warung itu punya pelanggan tetap, terutama mahasiswa dan warga sekitar.

Awalnya, menu yang dijual hanya jus dan es teler. Tapi rasa dan konsistensi menjaga kualitas menjadi kunci. Meski dari rumah,  Yuli tak main-main dalam menjaga rasa. Buah-buahan segar, santan yang tepat, dan paduan sirup yang pas membuat pelanggan tak segan merekomendasikan dagangannya ke teman-teman mereka.

Tahun 2020, badai kembali datang. Pandemi COVID-19 memaksa semua aktivitas berhenti. Kampus ditutup, jalanan kembali sepi. "Lagi-lagi harus bersahabat dengan sepi," ujar Yuli lirih. Tapi seperti sebelumnya, ia tak menyerah. Ia mulai menjajaki sistem pesanan daring dan tetap membuka warung dengan protokol ketat.

Menjelang akhir pandemi, sekitar tahun 2021, ia mulai menambahkan menu baru: es buah prasmanan. Pelanggan bisa memilih sendiri isi mangkuk mereka. Konsep ini terbukti disukai dan menjadi daya tarik baru yang menyegarkan.

Selama lebih dari 15 tahun menjalani usaha ini, Yuli punya filosofi yang sederhana tapi kuat. "Usaha itu seperti musim. Ada waktunya ramai, ada waktunya sepi," tuturnya. Saat musim hujan datang, penjualan es otomatis menurun. Begitu juga saat masa libur mahasiswa, warungnya ikut lengang.

Namun, Yuli tak menyebutnya sebagai kegagalan. Baginya, semua itu adalah bagian dari irama. "Yang penting kita siap mental. Rugi itu bukan aib. Kita harus bersahabat sama kerugian," ujarnya sambil menyendok es ke dalam mangkuk pelanggan.

Sikap inilah yang membuatnya tetap bertahan tidak hanya sebagai pedagang, tapi juga sebagai pribadi yang resilien. Ia mengajarkan bahwa keberhasilan bukanlah soal seberapa besar keuntungan yang diraih, tapi tentang seberapa kuat kita bisa bertahan dan bangkit setiap kali terjatuh.

Kini, "Gorillaz" bukan hanya tempat jualan, tapi sudah menjadi bagian dari komunitas. Banyak pelanggan yang mengenal Yuli bukan hanya sebagai pedagang, tapi sebagai sosok yang hangat dan ramah. Anak-anak kos, mahasiswa, dosen, hingga warga sekitar sering mampir, tak sekadar untuk membeli, tapi juga untuk berbincang.

"Ada yang dulu langganan waktu kuliah, sekarang bawa anaknya ke sini. Rasanya senang sekali," ujar Yuli, matanya berbinar.

Warung kecil itu telah menjadi ruang aman bagi banyak orang. Di balik kesederhanaannya, ada kehangatan, ketulusan, dan semangat hidup yang tak pernah padam.

Dari gempa hingga pandemi, dari keraguan hingga harapan, Ibu Yuli membuktikan bahwa keteguhan hati dan kerja keras akan selalu menemukan jalannya meski lewat warung kecil, semangkuk es teler, dan nama yang tak terlupakan: Gorillaz.

Foto bersama ibu pemilik warung gorrilaz/sumber:dokumentasi pribadi
Foto bersama ibu pemilik warung gorrilaz/sumber:dokumentasi pribadi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun