Namun, Yuli tak menyebutnya sebagai kegagalan. Baginya, semua itu adalah bagian dari irama. "Yang penting kita siap mental. Rugi itu bukan aib. Kita harus bersahabat sama kerugian," ujarnya sambil menyendok es ke dalam mangkuk pelanggan.
Sikap inilah yang membuatnya tetap bertahan tidak hanya sebagai pedagang, tapi juga sebagai pribadi yang resilien. Ia mengajarkan bahwa keberhasilan bukanlah soal seberapa besar keuntungan yang diraih, tapi tentang seberapa kuat kita bisa bertahan dan bangkit setiap kali terjatuh.
Kini, "Gorillaz" bukan hanya tempat jualan, tapi sudah menjadi bagian dari komunitas. Banyak pelanggan yang mengenal Yuli bukan hanya sebagai pedagang, tapi sebagai sosok yang hangat dan ramah. Anak-anak kos, mahasiswa, dosen, hingga warga sekitar sering mampir, tak sekadar untuk membeli, tapi juga untuk berbincang.
"Ada yang dulu langganan waktu kuliah, sekarang bawa anaknya ke sini. Rasanya senang sekali," ujar Yuli, matanya berbinar.
Warung kecil itu telah menjadi ruang aman bagi banyak orang. Di balik kesederhanaannya, ada kehangatan, ketulusan, dan semangat hidup yang tak pernah padam.
Dari gempa hingga pandemi, dari keraguan hingga harapan, Ibu Yuli membuktikan bahwa keteguhan hati dan kerja keras akan selalu menemukan jalannya meski lewat warung kecil, semangkuk es teler, dan nama yang tak terlupakan: Gorillaz.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI