Mohon tunggu...
Kalya Lintang
Kalya Lintang Mohon Tunggu... Mahasiswa

hobi berenang, mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menelaah Kembali Hukum Islam Tentang Nafkah Anak Setelah Perceraian

8 Juni 2025   10:00 Diperbarui: 8 Juni 2025   10:00 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Nama : Kalya Lintang Rayhana

Nim : 232121234

Kelas : HKI 4F

HAK NAFKAH ANAK SETELAH PERCERAIAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Ahad Ridho Hadianto

  1. Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir dan batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam Islam, pernikahan merupakan bentuk ibadah dan mitsaqan ghalidzan (perjanjian yang kokoh), yang dimaksudkan untuk mencapai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Namun, tidak semua rumah tangga dapat mempertahankan keharmonisan hingga akhir. Berbagai persoalan, baik ekonomi, psikologis, maupun perselisihan prinsip, seringkali mengakibatkan perceraian sebagai pilihan terakhir. Meskipun dibolehkan dalam Islam, perceraian adalah hal yang dibenci Allah. Perceraian tidak hanya memutuskan hubungan suami-istri, tetapi juga menimbulkan konsekuensi hukum dan sosial, khususnya terhadap anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Anak yang menjadi korban perceraian sering mengalami gangguan pemenuhan hak-hak dasarnya, terutama dalam hal nafkah. Padahal, menurut hukum Islam dan hukum positif Indonesia, kewajiban memberikan nafkah kepada anak tetap melekat pada ayah meskipun hubungan perkawinan telah putus. Nafkah tersebut mencakup kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, pendidikan, tempat tinggal, dan kesehatan. Dalam kenyataannya, tidak sedikit ayah yang lalai dalam menjalankan kewajiban ini setelah perceraian. Banyak anak yang akhirnya tidak mendapat pemenuhan nafkah yang layak, bahkan hingga dewasa. Kondisi ini menjadi perhatian penting karena menyangkut hak asasi anak dan tanggung jawab moral serta hukum orang tua. Oleh karena itu, perlu dikaji bagaimana hukum, baik Islam maupun positif, mengatur dan melindungi hak nafkah anak setelah perceraian. Sebagai studi kasus, penulis memilih dua putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan, yaitu Putusan Nomor 4221/Pdt.G/2018/PA.JS dan Putusan Nomor 4140/Pdt.G/2019/PA.JS. Dua putusan ini menggambarkan dua pendekatan berbeda dalam menetapkan nafkah anak. Penulis tertarik untuk meneliti bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan besaran nafkah tersebut, serta bagaimana ketentuan tersebut ditinjau dari perspektif hukum Islam.

  2. Saya memilih judul skripsi "Hak Nafkah Anak Setelah Perceraian Perspektif Hukum Islam" karena saya melihat terkadang banyak anak yang orang tuanya sudah bercerai tapi tidak mendapatkan nafkah dari ayahnya. Padahal sebenarnya, walaupun orang tua sudah pisah, anak tetap punya hak untuk mendapatkan biaya hidup dari ayahnya, seperti untuk makan, sekolah, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain. Tapi kenyataannya, masih banyak ayah yang tidak menjalankan kewajiban itu, bahkan ada yang benar-benar lepas tangan. Anak-anak jadi korban, padahal mereka tidak ada salah apa-apa. Saya tertarik untuk membahas masalah ini karena menurut saya sangat penting. Anak-anak harus tetap dilindungi, apalagi setelah perceraian. Saya juga ingin tahu, bagaimana sebenarnya keputusan hakim di pengadilan waktu menetapkan berapa besar nafkah yang harus diberikan ayah setelah bercerai dan apakah keputusan itu sudah sesuai dengan hukum Islam yang mengutamakan keadilan saya mengambil contoh dari dua putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan supaya bisa dianalisis secara nyata. Harapannya, dari skripsi ini orang bisa lebih sadar kalau anak tetap harus diperhatikan, dan ayah punya tanggung jawab yang nggak bisa diabaikan cuma karena sudah nggak jadi suami-istri lagi.

  3. Skripsi ini membahas tentang pentingnya hak nafkah anak setelah orang tua mereka bercerai. Dalam kehidupan masyarakat saat ini, perceraian bukan lagi hal yang jarang terjadi. Banyak pasangan suami istri yang memutuskan untuk berpisah karena berbagai alasan, mulai dari ketidakcocokan, masalah ekonomi, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Namun, yang sering kali menjadi korban dari perceraian ini adalah anak-anak. Mereka kehilangan perhatian penuh dari kedua orang tuanya, dan yang lebih buruk lagi adalah ketika kebutuhan dasarnya seperti makanan, pendidikan, dan tempat tinggal tidak lagi terpenuhi dengan baik karena adanya kelalaian dari orang tua, khususnya ayah, dalam memberikan nafkah. Penulis skripsi ini melihat bahwa meskipun secara hukum ayah tetap berkewajiban menafkahi anak-anaknya, dalam praktiknya tidak semua ayah menjalankan kewajiban tersebut. Padahal, baik dalam hukum Islam maupun hukum positif Indonesia, tanggung jawab seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada anaknya tidak otomatis gugur hanya karena ia telah bercerai dengan istrinya. Oleh karena itu, penulis merasa penting untuk meneliti lebih jauh tentang bagaimana pengadilan memutuskan perkara nafkah anak setelah perceraian, dan apakah keputusan hakim tersebut sudah sesuai dengan nilai-nilai keadilan dalam hukum Islam. Untuk menjawab masalah ini, penulis mengambil dua contoh kasus nyata, yaitu dua putusan dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

    1. Putusan pertama adalah Nomor 4221/Pdt.G/2018/PA.JS. 

      Putusan ini diajukan oleh seorang istri yang telah bercerai dan menuntut hak nafkah anak kepada mantan suaminya. Dalam proses persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan mempertimbangkan fakta hukum, bukti-bukti yang diajukan, serta kemampuan finansial tergugat (ayah dari anak). Berdasarkan hal tersebut, hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban memberikan nafkah kepada anaknya sebesar Rp10.000.000,- setiap bulan. Putusan ini dianggap adil dan sesuai dengan Pasal 41 huruf b Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa setelah perceraian, baik ayah maupun ibu tetap memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak demi kepentingan anak itu sendiri. Penulis menilai bahwa nominal ini wajar dan patut karena telah mempertimbangkan kesejahteraan anak dan kemampuan ekonomi ayah.

    2. Putusan kedua adalah Nomor 4140/Pdt.G/2019/PA.JS. Dalam putusan ini, penggugat juga merupakan istri yang menggugat mantan suami atas hak asuh anak dan nafkah anak sekaligus (gugatan kumulatif). Majelis Hakim mengabulkan gugatan tersebut dan menetapkan bahwa nafkah anak dibebankan kepada ayah sebesar Rp500.000,- per bulan. Putusan ini didasarkan pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang mewajibkan orang tua untuk tetap menafkahi anak walaupun sudah bercerai. Akan tetapi, menurut penulis skripsi, nominal nafkah tersebut tidak layak jika dilihat dari sisi sosial ekonomi, khususnya untuk kebutuhan hidup anak di wilayah Jakarta Selatan yang memiliki biaya hidup tinggi. Oleh karena itu, penulis mengkritik bahwa dalam putusan ini, hakim kurang mempertimbangkan realitas sosial dan kebutuhan riil anak, meskipun secara hukum sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.  Kedua putusan ini menjadi bahan utama dalam penelitian karena memberikan gambaran yang cukup jelas tentang bagaimana hakim memutuskan besaran nafkah yang harus dibayarkan oleh ayah setelah perceraian. Selain itu, kedua kasus ini juga memperlihatkan dua pendekatan yang berbeda dalam menentukan nominal nafkah, yang satu ditetapkan dalam jumlah besar dan satunya lagi jauh lebih kecil. Dalam skripsinya, penulis menyusun kerangka pembahasan secara sistematis. Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis juga melalui berbagai tahapan mulai dari penulisan latar belakang masalah yang memaparkan pentingnya perlindungan hak anak setelah perceraian, identifikasi masalah yang merinci permasalahan utama terkait pelaksanaan nafkah anak, pembatasan masalah agar fokus penelitian tetap terjaga, perumusan masalah yang mempertajam arah penelitian, manfaat penelitian yang diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara akademis maupun praktis, serta tujuan penelitian yang secara spesifik ingin menggali pertimbangan hakim dalam menetapkan nafkah anak, kemudian pada bagian literature review penulis mengulas berbagai teori dan hasil penelitian sebelumnya yang relevan, dan pada metode penelitian dijelaskan secara rinci jenis penelitian, pendekatan, bahan hukum yang digunakan, teknik pengumpulan data, hingga metode analisis data yang semuanya bertujuan untuk memastikan hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sementara pada bab tinjauan umum mengenai hak nafkah anak setelah perceraian, penulis membahas pengertian perceraian, akibat hukum perceraian terhadap anak, pengertian nafkah anak menurut hukum Islam, dasar hukum, syarat wajib nafkah anak, serta bagaimana nafkah anak diatur dalam Undang-Undang dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan pada bab deskripsi putusan, penulis memaparkan secara detail kronologi, fakta persidangan, pertimbangan hakim, hingga amar putusan pada kedua kasus yang menjadi objek penelitian, sehingga melalui analisis yang komprehensif, skripsi ini tidak hanya memberikan gambaran mengenai praktik penetapan nafkah anak di pengadilan agama, tetapi juga memberikan kritik dan rekomendasi agar ke depan hakim lebih responsif terhadap dinamika sosial ekonomi masyarakat, serta tetap berpegang pada prinsip keadilan dan kemaslahatan anak sebagaimana diamanatkan dalam hukum Islam dan peraturan perundang-undangan di Indonesia, skripsi ini dapat memberikan manfaat tidak hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi para pembaca, praktisi hukum, dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam perlindungan hak anak pasca perceraian, serta menjadi referensi yang bermanfaat dalam pengembangan ilmu hukum keluarga Islam di Indonesia. Dalam skripsi tersebut terdapat beberapa dasar hukum positif Indonesia UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 41 dan 45: ayah berkewajiban membiayai pendidikan dan pemeliharaan anak. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 105 dan 156: menegaskan tanggung jawab ayah atas nafkah anak hingga dewasa. UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak: negara menjamin pemenuhan hak-hak anak, termasuk nafkah.Di bab pertama, penulis menjelaskan latar belakang masalah secara mendalam. Ia memaparkan bahwa pernikahan sejatinya bertujuan untuk menciptakan keluarga yang harmonis dan sejahtera, tetapi dalam kenyataannya tidak semua pasangan berhasil mencapainya. Penulis memulai dengan memaparkan fenomena perceraian yang semakin meningkat di masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah perkotaan seperti Jakarta Selatan. Perceraian tidak hanya memutus hubungan suami istri, tetapi juga berdampak besar pada anak-anak, terutama dalam hal pemenuhan hak nafkah. Penulis menegaskan bahwa meskipun hukum Islam dan hukum nasional telah mengatur kewajiban ayah untuk memberikan nafkah kepada anak, dalam praktiknya sering terjadi ketidaksesuaian antara kebutuhan anak dan besaran nafkah yang diberikan. Oleh karena itu, penelitian ini penting untuk mengetahui bagaimana hakim memutuskan perkara nafkah anak setelah perceraian, dengan fokus pada dua putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Bab ini juga menjawab rumusan masalah yang ingin dijawab, yaitu bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan nafkah anak dan apakah sudah sesuai dengan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Selain itu, penulis menjelaskan tujuan penelitian, manfaat penelitian baik secara akademis maupun praktis, serta batasan masalah agar penelitian tetap fokus dan terarah. Ketika perceraian terjadi, perhatian sering kali hanya tertuju pada urusan pembagian harta atau hak asuh anak, sementara hak nafkah anak justru dilupakan. Padahal, anak-anak tetap memerlukan biaya hidup yang cukup agar tumbuh dan berkembang dengan baik. Selanjutnya, penulis merumuskan tujuan dari penelitian ini, yaitu untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam menentukan besaran nafkah anak setelah perceraian dan bagaimana pandangan hukum Islam terhadap putusan-putusan tersebut. Penulis juga menyampaikan bahwa skripsi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi dunia akademik serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemenuhan hak-hak anak, terutama hak nafkah pasca perceraian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji aturan hukum yang berlaku, teori-teori hukum, serta putusan pengadilan. Penulis tidak melakukan wawancara atau survei lapangan, melainkan menggunakan pendekatan studi pustaka dan studi kasus. Sumber utama yang digunakan adalah dua putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang disebutkan sebelumnya. Selain itu, penulis juga menggunakan berbagai literatur hukum Islam, peraturan perundang-undangan, dan buku-buku ilmiah lainnya. Di bab kedua, Bab ini membahas teori-teori dan aturan hukum yang menjadi landasan penelitian. Pertama, penulis menguraikan pengertian perceraian menurut hukum Islam dan hukum nasional, termasuk prosedur perceraian dan akibat hukumnya terhadap anak. Penulis menjelaskan bahwa perceraian tidak menghilangkan kewajiban ayah untuk memberi nafkah kepada anak. Lalu dibahas hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, terutama kewajiban memberi nafkah yang mencakup kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, pendidikan, dan kesehatan. Penulis menjelaskan konsep nafkah anak dalam hukum Islam berdasarkan Al-Qur'an, hadis, dan fatwa ulama, serta aturan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Selain itu, penulis mengulas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang mengatur kewajiban nafkah anak setelah perceraian. Bab ini memberikan landasan teori yang kuat agar pembaca memahami bagaimana hukum Islam dan hukum nasional memandang hak nafkah anak. Penulis membahas pengertian perceraian dan ruang lingkupnya, termasuk akibat hukum perceraian terhadap anak. Penulis menjelaskan bahwa perceraian bukan hanya berdampak pada hubungan suami istri, tetapi juga terhadap keberlangsungan hidup anak-anak. Anak-anak yang seharusnya mendapatkan perhatian dan dukungan dari kedua orang tuanya, justru sering menjadi korban atas keputusan perceraian yang diambil oleh orang tuanya. Dalam Islam, meskipun perceraian diperbolehkan, namun itu adalah hal yang dibenci oleh Allah. Oleh karena itu, bila memang perceraian tidak bisa dihindari, maka hak-hak anak tetap harus dijaga dan dipenuhi. Penulis juga menguraikan pengertian nafkah menurut pandangan Islam. Dalam Islam, nafkah bukan hanya sebatas memberi uang, tetapi juga mencakup kebutuhan dasar anak seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Kewajiban ini secara jelas dibebankan kepada ayah. Al-Qur'an dan hadis memberikan landasan yang kuat tentang pentingnya tanggung jawab ayah dalam menafkahi anak, bahkan setelah ia berpisah dengan istrinya. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 233, disebutkan bahwa ayah berkewajiban memberi makan dan pakaian kepada ibu yang menyusui anak, serta menanggung biaya anak sesuai kemampuannya. Artinya, Islam sudah sangat jelas dan tegas dalam memerintahkan ayah untuk tetap bertanggung jawab secara materi terhadap anak-anaknya. Penulis menjelaskan metode yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah. Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan studi kasus, artinya fokus pada analisis dua putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai contoh nyata. Data dikumpulkan melalui studi pustaka, yaitu membaca buku, jurnal, peraturan perundang-undangan, dan dokumen putusan pengadilan. Analisis data dilakukan secara kualitatif deskriptif, yang berarti penulis menjelaskan dan menginterpretasikan data secara mendalam tanpa menggunakan angka statistik. Bab ini juga menjelaskan alasan pemilihan objek penelitian, teknik pengumpulan data, dan metode analisis yang digunakan agar hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan sistematis. Masuk ke bab ketiga, penulis mulai membedah dua putusan pengadilan yang menjadi objek penelitian. Dalam putusan pertama (4221/Pdt.G/2018/PA.JS), hakim menetapkan bahwa ayah wajib memberikan nafkah sebesar Rp10.000.000 per bulan kepada anaknya. Jumlah ini dianggap sesuai dengan kondisi ekonomi ayah, serta berdasarkan fakta-fakta yang terungkap selama persidangan. Penulis menilai bahwa putusan ini sudah mencerminkan keadilan karena hakim mempertimbangkan kebutuhan anak secara menyeluruh dan kemampuan ayah untuk memenuhinya. Sementara itu, dalam putusan kedua (4140/Pdt.G/2019/PA.JS), hakim menetapkan nafkah sebesar Rp500.000 per bulan. Meskipun secara hukum sah, penulis sedikit tidak setuju jumlah tersebut karena dianggap terlalu kecil dan tidak mencukupi kebutuhan anak di daerah Jakarta Selatan yang biaya hidupnya cukup tinggi. Penulis menyayangkan bahwa hakim tidak memperhatikan kondisi sosial ekonomi yang ada saat menetapkan nominal tersebut. Padahal, dalam hukum Islam, prinsip keadilan sangat ditekankan, dan itu berarti setiap keputusan harus benar-benar memperhatikan apa yang terbaik untuk anak. Bab keempat merupakan bagian inti dari skripsi ini. Di sinilah penulis menganalisis dua putusan tersebut dari perspektif hukum Islam. Ia menunjukkan bahwa dalam Islam, memberikan nafkah kepada anak bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga merupakan bentuk kasih sayang dan tanggung jawab moral seorang ayah. Putusan yang pertama dinilai sudah sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam, karena jumlah nafkah yang ditetapkan cukup besar dan realistis. Sedangkan putusan kedua dinilai kurang mencerminkan nilai-nilai Islam karena jumlah nafkah yang terlalu kecil dapat menghambat pertumbuhan dan kesejahteraan anak. Kedua putusan ini menjadi studi kasus yang dianalisis untuk melihat bagaimana hakim mengaplikasikan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan dalam memutus perkara nafkah anak pasca perceraian, serta bagaimana pertimbangan sosial ekonomi turut mempengaruhi keputusan hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Analisis terhadap kedua putusan tersebut menunjukkan bahwa meskipun pengadilan telah menjalankan fungsinya sesuai dengan prosedur hukum, masih terdapat ketimpangan dalam penetapan besaran nafkah. Penulis menyarankan agar hakim tidak hanya berpatokan pada bukti formal seperti penghasilan, tetapi juga mempertimbangkan living cost atau biaya hidup setempat. Selain itu, penting untuk mempertimbangkan kesejahteraan dan masa depan anak dalam jangka panjang, mengingat nafkah bukan sekadar bentuk pemenuhan ekonomi, tetapi juga wujud tanggung jawab moral dan spiritual seorang ayah terhadap anaknya. Di bagian kesimpulan, penulis menyampaikan bahwa hakim seharusnya tidak hanya berpegang pada aturan hukum secara kaku, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek sosial dan kemanusiaan. Anak-anak yang menjadi korban perceraian harus tetap dilindungi hak-haknya, terutama dalam hal nafkah. Penulis juga mengusulkan agar ada lembaga yang mengawasi pelaksanaan putusan nafkah anak, sehingga tidak hanya berhenti di atas kertas, tetapi benar-benar dijalankan oleh orang tua yang bersangkutan. Secara keseluruhan, skripsi ini sangat menarik dan penting karena membahas persoalan nyata yang sering terjadi di tengah masyarakat. Penulis menyajikan pembahasan dengan bahasa yang cukup jelas dan terstruktur, serta menggabungkan teori dengan praktik hukum yang terjadi di lapangan. Penelitian ini bukan hanya memberikan pemahaman tentang hukum nafkah anak pasca perceraian, tetapi juga menekankan pentingnya keadilan dan tanggung jawab moral orang tua terhadap anak-anak mereka. Kelebihan dari skripsi ini membahas dua kasus nyata dari pengadilan agama, jadi pembahasannya tidak hanya teori saja, tapi benar-benar ada contoh kasus yang dibahas detail. Ini bikin pembaca lebih gampang paham gimana praktiknya di lapangan, Penulis tidak hanya melihat dari sisi hukum Islam, tapi juga membandingkan dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Jadi, pembahasannya lengkap dan seimbang, Penulis berani mengkritik putusan hakim yang menurutnya kurang pas, misalnya soal besaran nafkah anak yang terlalu kecil di salah satu kasus. Jadi, skripsi ini tidak hanya menerima apa adanya, tapi juga memberikan masukan untuk perbaikan ke depannya, Topik yang diangkat memang sering terjadi di masyarakat, terutama di kota besar seperti Jakarta. Jadi, hasil penelitian ini memang bermanfaat dan bisa jadi bahan pertimbangan buat hakim, pengacara, atau orang tua yang sedang menghadapi masalah serupa. Kekurangan dari skripsi ini itu hanya membahas dua putusan pengadilan. Jadi, hasil analisisnya belum tentu bisa mewakili semua kasus nafkah anak di seluruh Indonesia, apalagi tiap daerah bisa punya masalah dan kondisi ekonomi yang berbeda, Penulis memang mengkritik besaran nafkah yang terlalu kecil, tapi belum memberikan solusi atau rumus pasti berapa nafkah anak yang ideal sesuai kebutuhan zaman sekarang, Skripsi ini lebih fokus ke putusan dan besaran nafkah, tapi kurang membahas bagaimana dampaknya ke kehidupan anak setelah putusan itu dijalankan, misalnya soal pendidikan, kesehatan, atau psikologis anak ke depannya. Skripsi ini menyimpulkan bahwa dalam praktik peradilan agama, hakim telah berusaha menegakkan kewajiban ayah untuk memberikan nafkah kepada anak setelah perceraian dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi ayah serta kebutuhan anak, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun, penetapan besaran nafkah yang dilakukan hakim belum selalu mencerminkan kebutuhan riil anak, terutama di wilayah perkotaan dengan biaya hidup tinggi seperti Jakarta Selatan. Oleh karena itu, perlu adanya perhatian lebih dari hakim terhadap aspek sosial ekonomi dan kondisi nyata keluarga agar hak anak atas nafkah dapat terpenuhi secara adil dan layak. Dengan demikian, perlindungan hak nafkah anak pasca perceraian harus dioptimalkan melalui penyesuaian putusan pengadilan yang tidak hanya berdasarkan aturan formal, tetapi juga memperhatikan kemaslahatan dan kesejahteraan anak secara menyeluruh. Skripsi ini juga mengajak para pihak terkait untuk terus mengembangkan pedoman dan kebijakan yang mendukung pelaksanaan nafkah anak yang adil dan sesuai dengan nilai-nilai hukum Islam dan keadilan sosial. Skripsi ini menunjukkan bahwa hakim telah berusaha menyeimbangkan antara kemampuan ekonomi ayah dan kebutuhan anak dalam menetapkan nafkah, sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, penelitian ini juga mengungkap adanya kekurangan dalam praktik penetapan nafkah, terutama terkait kurangnya perhatian terhadap kondisi sosial ekonomi riil anak dan keluarga, sehingga besaran nafkah yang ditetapkan belum selalu mencukupi kebutuhan anak secara optimal, terutama di daerah perkotaan dengan biaya hidup tinggi. Skripsi ini menegaskan pentingnya pendekatan yang lebih holistik dan responsif dari hakim dalam memutus perkara nafkah anak, dengan mempertimbangkan aspek sosial ekonomi agar hak anak benar-benar terlindungi dan terpenuhi secara adil. Selain itu, skripsi ini memberikan saran bagi pengembangan kebijakan dan pedoman yang lebih jelas dalam menetapkan nafkah anak, serta mendorong kesadaran masyarakat dan orang tua tentang kewajiban nafkah pasca perceraian. Dengan membaca skripsi ini, diharapkan masyarakat, terutama para ayah, lebih sadar bahwa perceraian bukan alasan untuk lepas dari kewajiban terhadap anak. Anak tetap butuh perhatian, kasih sayang, dan dukungan, baik secara emosional maupun finansial. Selain itu, skripsi ini juga bisa menjadi bahan masukan bagi para hakim di pengadilan agama agar lebih bijak dan adil dalam menetapkan besaran nafkah anak berdasarkan kondisi nyata di masyarakat.

  4. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
    Lihat Pendidikan Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun