Tahun 1975, pemerintah Singapura menghapuskan pelajaran bahasa dan kebudayaan Melayu di sekolah-sekolah. Bahasa yang diwajibkan pemerintah disekolah adalah bahasa Inggris atau bahasa Mandarin. Bahasa Melayu menjadi bahasa nasional karena alasan simbolis dan historis, dan secara umum hanya dipergunakan oleh masyarakat Melayu Singapura. Bahasa Melayu digunakan pada lagu kebangsaan “Majulah Singapura” dan cetakan koin. Tetapi, sekitar 85% warga Singapura tidak paham bahasa Melayu.
Untuk memperluas wilayah daratannya, Singapura mereklamasi laut dengan tanah yang diperoleh dari negara tetangga. Pemerintah juga menerapkan pajak tanah yang tinggi sehingga banyak penduduk Melayu yang tak mampu membayar pajak dan terpaksa menjual tanahnya kepada orang yang lebih mampu, yaitu etnis Tionghoa. Dengan demikian, ras Melayu semakin terpojok.
Berkat meritokrasi Lee Kuan Yew, kini Singapura menjadi negara metropolitan yang sangat maju dan modern. Bagi penduduk melayu Singapura seperti negara baru, dan mereka merasa menjadi warga asing di negerinya. Semua orang berbicara dengan bahasa Inggris dan Mandarin. Bahasa Melayu nyaris tak terdengar lagi.
Meritokrasi Ahok.
Menurut sejarah, nama Jakarta merupakan kependekan dari Jayakarta yang artinya “kota kemenangan”, yang diberikan oleh Fatahillah setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa tahun 1527. Nama sebelumnya adalah Sunda Kelapa (sebelum 1527), sedangkan nama Batavia diberikan oleh Belanda (1619-1942). Nama Jakarta kembali dipakai setelah kemerdekaan 1945. Suku Betawi adalah penghuni awal Kota Jakarta dan sekitarnya.
Pada tahun 1930, masyarakat Betawi menjadi penduduk mayoritas di Batavia atau Jakarta (36,2%), selebihnya adalah Sunda (25,4%), Jawa (11,01%), Tionghoa (5,53%), dan lain-lain. Saat itu Jakarta adalah kota yang masih belum maju dan miskin, akibat banyak kekacauan politik. Pemerintahan dikelola dengan sistem primordialisme.
Memasuki masa Orde Baru, Presiden Suharto menerapkan sistem meritokrasi secara wajar. Para teknokrat dan ekonom lulusan Barat banyak direkrut oleh Soeharto. Mereka yang dikenal sebagai “Mafia Barkeley”, menjadi pilar utama kebangkitan ekonomi Indonesia. Tentu sistem ini diterapkan di Jakarta sebagai ibukota Indonesia. Namun sistem ini tidak bertahan lama karena Soeharto mulai memilih anggota kabinet berdasarkan kedekatan personal.
Demikian pula setelah orde reformasi, ternyata meritokrasi belum benar-benar diterapkan. Pada masa kepemimpinan Gus Dur hingga SBY sistem meritokrasi hanya dijalankan setengah-setengah. Gusdur banyak mengangkat menteri dari kalangan Nahdliyin. SBY hanya menerapkan sistem meritokrasi pada menteri-menteri urusan teknis, seperti menteri keuangan, menteri dalam negeri, menteri luar negeri, dan menteri perdagangan. Untuk jabatan-jabatan non-teknis, ia banyak menyerahkan kepada para politisi yang terkadang kurang kredibel.
Sebagai Wakil Gubernur, Ahok mendorong Jokowi selaku Gubernur DKI Jakarta untuk menerapkan sistem meritokrasi dalam mengelola Jakarta, salah satunya untuk jabatan publik. Tahap awal adalah melakukan lelang jabatan dalam penempatan kepala camat dan lurah di seluruh Jakarta. Muncullah nama Susan Jasmine yang diangkat sebagai lurah di kelurahan Lenteng Agung yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Setelah menjadi gubernur, Ahok benar-benar menerapkan meritokrasi secara total. Kepala-kepala dinas dan pembantu-pembantunya diangkat dan diberhentikan sesuai penilaian Ahok berdasarkan kapabilitas dan loyalitas kepada kebijakan-kebijakannya.
Dengan kejujuran, keterbukaan, keberanian, dan sikap kerasnya menentang primordialisme dalam memimpin Jakarta, Ahok secara signifikan telah berhasil mengubah Jakarta menjadi lebih baik. Ahok banyak mendapat pujian dan dukungan dalam memimpin Jakarta, meski tidak sedikit pula yang menentangnya. Meritokrasi Ahok nampaknya akan berhasil membawa Jakarta menjadi kota metropolitan yang tertib, rapih, indah, aman, dan nyaman seperti Singapura.
Meritokrasi Ala Malaysia