Mohon tunggu...
agustinus dwi winarno
agustinus dwi winarno Mohon Tunggu... -

aku hanya manusia biasa, dan tak lebih...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pajak, Melanggar HAM?

2 Juni 2010   15:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:47 1483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pengantar

Akhir-akhir ini, ada satu hal yang menggelitik saya untuk berpikir. Di sebuah stasiun radio di Malang ini, saya sering mendengarkan sebuah iklan. Dalam iklan itu dikisahkan ada dua orang yang sudah bekerja dan hidupnya sudah mapan, tapi salah satu dari mereka belum membayar pajak (penghasilan), sehingga rekannya mengatakan: “Hari gini belum bayar pajak? Apa kata dunia?” Dari sini timbullah pertanyaan: kenapa kita, sebagai warga negara harus membayar pajak? Kenapa membayar pajak seperti suatu keharusan, dan apabila tidak membayar pajak seperti mendapat sanksi atau setidaknya mendapat ‘sindiran‘? Bukankah tiap orang mempunyai hak-hak dasarnya (hak asasinya sebagai manusia), yang salah satunya adalah hak atas kepemilikan harta? Tetapi mengapa negara masih memungut pajak kepada setiap warganya? Apakah penarikan pajak ini merupakan salah satu pelanggaran HAM oleh negara? Lalu, bagaimana seandainya ada warga negara tidak mau membayar pajak?

Pengalaman sederhana ini dapat memunculkan suatu topik mengenai hubungan antara salah satu hak dasar dari warga negara yakni hak atas milik pribadi dengan kekuasaan negara yang mengharuskan warga negaranya untuk membayar pajak. Bagaimana kedua hal itu bisa dipertemukan. Dan, pemikiran John Locke mengenai hidup bermasyarakat dan bernegara kiranya dapat menjelaskan hal ini.

JOHN LOCKE, perintis hak-hak asasi manusia

John Locke adalah penganut hukum kodrat. Manusia itu dilahirkan bebas dan sama. Menurut Locke, keadaan asli manusia adalah sebuah firdaus, dimana kehidupan masyarakat diatur oleh hukum-hukum kodrat dan masing-masing individu mempunyai hak yang tak boleh dirampas. Jadi, setiap manusia mempunyai hak alamiah yang melekat padanya sejak manusia itu dilahirkan, sehingga tidak boleh ada seorang pun atau sesuatu pun yang boleh merampas, mengambil, ataupun mengurangi hak alamiah itu. Hak-hak alamiah manusia ini meliputi tiga macam, yakni: hak atas kehidupan (hak untuk hidup); hak atas milik pribadi (hak atas sarana untuk menunjang hak atas kehidupannya); dan hak atas kebebasan/kemerdekaan untuk mewujudkan kehendaknya.

Selanjutnya, konsep hak alamiah dari John Locke sering disebut-sebut sebagai cikal bakal munculnya istilah hak asasi manusia (HAM). Dan, menurutnya hak-hak ini tidak boleh diganggu-gugat. Bahkan negarapun tidak boleh merampas atau melanggar hak-hak ini. Kalau hak ini sampai dirampas atau dilanggar, maka akan terjadi kekacauan dalam masyarakat. Alasan yang diberikan Locke adalah bahwa hak ini sudah ada sebelum negara terbentuk. Karena manusia, dia memiliki hak ini, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka dari itu, hak asasi manusia tidak tergantung dari pengakuan manusia-masyarakat-negara lain, tetapi diperoleh manusia dari Penciptanya.

Hak asasi manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Hak ini bersifat universal, berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat diambil oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia[1]. Meski begitu, hak ini harus disertai kewajiban, yakni kewajiban untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain. Maka dari itu, ketika setiap orang menjalankan kewajiban ini, hak-hak asasi setiap manusia akan terjamin. Tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara multak tanpa memperhatikan hak orang lain.

Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, muncullah perumusan hak asasi manusia di dunia. Ada peristiwa-peristiwa besar yang merupakan suatu usaha untuk menegakkan hak asasi manusia. Di antaranya adalah: DECLARATION OF INDEPENDENCE OF THE UNITED STATES (Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat); DECLARATION DES DROITS DE L’HOMME ET DU CITOYEN (pernyataan mengenai hak-hak manusia dan warga negara di Prancis); dan puncaknya adalah pada tanggal 10 Desember 1948 dalam Sidang Umum PBB, terbentuklah UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS (Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia). Di Indonesia sendiri, secara konkret untuk pertama kali Hak Asasi Manusia dituangkan dalam Piagam Hak Asasi Manusia sebagai lampiran Ketetapan Permusyawarahan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998.

Negara, pelindung HAM

John Locke berkata: Di situ (masyarakat) pun ada perdamaian dan akal pikiran seperti dalam suatu negara.” Menurutnya, masyarakat lebih dulu ada daripada negara. Dan masyarakat yang sudah ada itu tidaklah kacau, tapi seperti suatu taman firdaus, suatu masyarakat yang ideal, karena hak-hak dasar dari manusia tidak dilanggar. Namun, demi lebih mendayagunakan kekuatan masyarakat, mereka perlu juga mengadakan kontrak sosial[2] dengan manusia lainnya sehingga membentuk sebuah kekuasaan yang disebut dengan negara. Tujuan utama mereka membentuk suatu negara adalah untuk menjaga-memelihara-melindungi hak-hak milik pribadi dari warga negaranya; menjamin keberlangsungan hidup dan kebebasan individu (BONUM COMMUNE). Kata Locke: “Negara diciptakan karena suatu perjanjian kemasyarakatan antara rakyat. Tujuannya ialah melindungi hak milik, hidup dan kebebasan, baik terhadap bahaya-bahaya dari dalam maupun bahaya-bahaya dari luar. Orang memberikan hak-hak alamiahnya kepada masyarakat, tetapi tidak semuanya.”

Masyarakatlah yang membentuk negara dan memilih orang-orang yang menjalankan pemerintahan, maka negara harus melayani masyarakat. Maka, dikenallah apa yang dinamakan dengan kedaulatan rakyat, yakni kekuasaan di tangan rakyat, bukan di tangan negara yang dijalankan oleh segelintir orang. Dan untuk menjaga agar kekuasaan yang dipegang oleh segelintir orang itu tidak disalah-gunakan, maka kekuasaan negara dibatasi. Batas ini adalah hak alamiah dari manusia, yang melekat padanya ketika manusia itu lahir. Batas ini adalah hak alamiah dari manusia, yang melekat padanya sejak manusia itu lahir.

Dalam suatu negara, ada kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Kekuasaan eksekutif harus dipisahkan dari kekuasaan legislatif. Dan, karena rakyat adalah pemilik kekuasaan, maka wakil rakyat (legislatif) harus lebih berperan daripada eksekutif. Eksekutif harus diawasi oleh legislatif melalui undang-undang yang dibuatnya, sehingga ada istilah THE RULE OF LAW – eksekutif hanya pelaksana hukum. Kekuasaan legislatif membawahi kekuasaan eksekutif. Meski begitu, dalam menjalankan tugasnya legislatif dalam membuat hukum atau undang-undang harus jujur, tidak boleh sewenang-wenang, dan tidak boleh untuk tujuan menindas, serta tidak boleh mendelegasikan kekuasaannya. Undang-undang atau hukum dibuat dan berlaku bagi semua warga negara untuk kebahagiaan bersama, termasuk terlindunginya hak-hak asasi yang dimiliki oleh setiap warga negara.

Salah satu contohnya adalah negara tidak boleh mengambil hak milik dari warga negaranya dengan sesuka hati atau sewenang-wenang, tetapi negara harus melindunginya. Alasannya adalah apa yang dimiliki oleh setiap warga negara adalah haknya atau upah dari kerjanya. Maka, wajar dan sah-sah saja kalau seseorang lebih kaya daripada orang lain, karena dia lebih rajin dan giat dalam bekerja mencari uang.

Bagaimana dengan negara Indonesia? Karena Indonesia juga menganut sistem kedaulatan rakyat, negara harus mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak terpisah dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan[3].

Pajak, Melanggar HAM?

Menurut John Locke, meski negara harus melindungi hak-hak dasar dari warga negaranya, tapi lanjutnya warga negara boleh diminta beberapa haknya sejauh digunakan untuk melindungi anggota masyarakat. Meski manusia mempunyai hak milik, tetapi negara mempunyai hak untuk mengambil properti itu.

Pemikiran John Locke ini diadopsi oleh Perancis. Dalam deklarasi dari Revolusi Perancis, tertulis: “karena hak milik merupakan suatu hak yang tidak boleh dilanggar serta suci, maka hak ini tidak boleh dirampas dari siapa pun, kecuali bila keperluan umum yang ditentukan oleh hukum, telah memintanya dan hanya dengan syarat bahwa diberi ganti rugi yang adil serta ditetapkan sebelumnya.” Ini menunjukkan bahwa kepentingan masyarakat berada di atas kepentingan individu. Meski hak milik dianggap suci, hak ini bisa diambil dari setiap warga negara hanya dengan alasan demi kepentingan umum. Dalam hal ini, kepentingan individu lebih gampang dikalahkan oleh kepentingan masyarakat.

Maka dari itu, penarikan pajak oleh negara kepada setiap warga negaranya dapat dibenarkan dan tidak melanggar HAM, asalkan uang pajak yang terkumpul itu adalah demi kepentingan bersama, kebaikan dan kebahagiaan masyarakat, serta penarikan pajak itu harus atas persetujuan rakyat dan ada hukum yang mengaturnya, sehingga negara tidak sewenang-wenang dalam pelaksanaannya[4].

Apabila penarikan pajak bukan merupakan pelanggaran terhadap HAM dan telah diatur oleh undang-undang atau hukum, muncullah pertanyaan: Apakah salah, apabila ada warga negara tidak mau membayar pajak dengan alasan ketidakadilan? Maksudnya, tujuan penarikan pajak adalah untuk membiayai pemerintahan dan pembangunan, tapi mereka yang sudah rutin membayar pajak kepada negara tidak merasakan hasilnya. Contohnya: sudah membayar pajak kendaraan, tetapi jalanan masih tetap macet, berlubang, dan tidak segera diperbaiki; Pajak menggunakan tol sudah mahal, tetapi jalan tol-nya juga masih berlubang; air PDAM tetap keruh seperti air sungai dan pemadaman listrik oleh PLN masih sering terjadi, padahal sudah membayar pajak air dan listrik tepat waktu, dan lain sebagainya. Belum lagi kalau ada kasus mengenai uang hasil penarikan pajak dikorupsi oleh pejabat negara.

Pembayar pajak harus dapat imbalan berupa kesejahteraan. Ketika warga negara sudah membayar pajak dengan rutin dan sesuai dengan peraturan/hukum, negara harus mengembalikan uang pajak itu kepada rakyatnya dalam bentuk peningkatan kesejahteraan, kenyamanan, dan kemudahan, karena hanya demi kepentingan masyarakatlah penarikan pajak itu diadakan. Dan, apabila negara sudah mempunyai sumber pendapatan yang mencukupi untuk menyejahterakan warganya (misalnya penghasilan dari penjualan migas, dan hasil sumber daya alam, dan lain sebagainya) penarikan pajak bisa ditiadakan, karena bagaimana pun juga penarikann pajak juga menambah beban pengeluaran warga negara.

Pertanyaan salah-tidaknya warga negara yang tidak mau bersedia membayar pajak bisa dikembalikan pada teori John Locke. Menurut dia, perlawanan rakyat terhadap pemerintah, termasuk tidak mambayar pajak, tidak boleh dianggap pemberontakan kepada negara karena maksud dari rakyat adalah untuk memelihara dan mempertahankan haknya. Bila terjadi seperti itu, pemerintahlah atau eksekutif yang dianggap pemberontak. Jadi, dalam hal ini, warga negara bisa menolak untuk tidak membayar pajak, jika uang hasil penarikan pajak tidak digunakan sesuai tujuan awal, yakni kepentingan umum atau pembangunan. Penolakan membayar pajak ini adalah dalam rangka memelihara dan mempertahankan haknya yang menurutnya telah dirampas oleh negara serta menegakkan keadilan.

Kesimpulan

Menurut kodratnya manusia mempunyai hak dasar yang lebih dikenal sebagai Hak Asasi Manusia. Hak ini tidak bisa dirampas dari tiap manusia, tetapi harus tetap dijaga dan dijamin. Dan, negaralah yang bertugas menjamin hak dasar ini sehingga warganya dapat hidup tenang. Di samping itu, perlu juga sikap saling menghormati, mengakui hak antar warga negara agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tidak saling mengganggu. Kalau tidak ada sikap saling menhormati dan mengakui hak masyarakat lain pasti akan terjadi benturan hak, yang akan berakhir dengan konflik antar warga negara. Maka, oleh negara dibentuklah hukum atau undang-undang untuk mengatur hak-hak itu.

Dalam menjalankan pemerintahannya, melaksanakan pembangunan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, negara membutuhkan biaya dan peran serta dari setiap warganya. Maka dari itu, negara meminta sebagian dari hak (milik) dari warga negaranya. Negara sebatas meminta sebagian atau sedikit dari hak milik warga negaranya, bukan meminta semuanya atau merampasnya. Dan, penarikannya pun ada aturan hukumnya, sehingga negara tidak sewenang-wenang dalam menjalankan penarikan uang pajak. Dan, apabila terjadi penyalahgunaan uang pajak, warga negara bisa melakukan protes atau melawan, karena bagaimanapun juga dalam suatu negara ideal menurut John Locke rakyat atau warga negaralah yang mempunyai kekuasaan.

Daftar Pustaka

Budiman, Arief. Teori Negara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Sitanggang, H., Drs. Filsafat dan Etika Pemerintahan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998.

Suseno, F. Magnis. 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Sumber dari internet yang diakses pada tanggal 30 September 2009, pukul: 08.15-09.45

http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak#Definisi

http://id.shvoong.com/business-management/management/1686476-studi-keengganan-membayar-pajak/

http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=7160

http://emperordeva.wordpress.com/about/sejarah-hak-asasi-manusia/

http://media.isnet.org/iptek/100/index.html

http://pusham.uii.ac.id/ham/7_Chapter1.pdf

http://blog.unila.ac.id/pdih/files/2009/04/bab-ii-rasionalisme.pdf

http://sekitarkita.com/wp-content/uploads/2009/07/ham_historis_sosiologis.pdf

[1] http://emperordeva.wordpress.com/about/sejarah-hak-asasi-manusia/

[2] Kontrak sosial adalah kesepakatan yang rasional untuk menentukan seberapa luas kebebasan warga (yang pada asasnya tak terbatas) dan di lain pihak seberapa besar kewenangan pejabat negara (yang pada asasnya terbatas). (bdk. http://blog.unila.ac.id/pdih/files/2009/04/bab-ii-rasionalisme.pdf)

[3] http://emperordeva.wordpress.com/about/sejarah-hak-asasi-manusia/

[4] Beberapa definisi mengenai Pajak dari para ahli: Prof. Dr. P. J. A. Adriani, “Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”; Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, ”Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.”; dan Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, “Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.” (bdk. http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak#Definisi)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun