Mohon tunggu...
Kaiser Enzo Johanson
Kaiser Enzo Johanson Mohon Tunggu... Siswa SMA Kanisius

hi

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Mengusir Hantu Fobia dari Republik Kita

29 September 2025   22:16 Diperbarui: 29 September 2025   22:16 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Dunia pendidikan justru menunjukkan contoh yang salah tentang cara mencintai lingkungan, misalnya ketika guru memerintahkan anak-anak untuk memberantas ulat bulu dengan racun serangga, bukannya memberikan pemahaman ekologis.

F. Rahardi dalam artikel "Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu" tidak hanya berani mendeskripsikan permasalahan kompleks dengan cara yang sederhana tetapi mampu memberikan gambaran mendalam permasalahan pokok di negeri ini. Ia membuka tulisannya dengan sebuah kalimat kunci: "Sebab, permasalahan Indonesia yang kita hadapi sudah sangat serius. Saat ini yang rusak bukan sekadar alam dan lingkungan, melainkan juga moralitas para pemimpin.". Melalui fenomena ulat bulu, Rahardi mengajak kita melihat sebuah "republik hantu", tempat ketakutan-ketakutan kecil sengaja dibesar-besarkan untuk menutupi tragedi yang sesungguhnya.

Fenomena ini terasa begitu akrab. Ketika isu sepele menjadi sorotan utama, kita sering lupa bahwa ada masalah yang jauh lebih mendasar. Sama seperti ulat bulu yang sejatinya adalah bagian dari siklus alam, banyak masalah yang dibingkai sebagai ancaman besar ternyata hanyalah pengalihan isu. Rahardi mencontohkan bagaimana anggota parlemen yang menonton pornografi saat sidang paripurna dianggap sebagai lelucon atau "dagelan" , padahal itu adalah sebuah tragedi moral. Kita seolah terjebak dalam arena yang sengaja memperkeruh masalah hingga kebenaran menjadi kabur dan keadilan terasa jauh.

Ternyata sebuah ketakutan yang berlebih akan membuat ketakutan-ketakutan lain muncul. Fobia massal ini, seperti yang diulas Rahardi, pada akhirnya merugikan si penderita. Ketakutan yang muncul di dalam masyarakat adalah bentuk ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan di negeri ini. Para pemimpin ikut terjangkit fobia: presiden takut dimakzulkan, menteri takut direshuffle, dan partai politik takut dikeluarkan dari koalisi. Ketakutan-ketakutan inilah yang mungkin sengaja diciptakan agar muncul hantu-hantu abadi yang melanggengkan status quo.

Di tengah krisis ini, kita merindukan sosok panutan. Bangsa ini seakan banyak kehilangan "muazin", namun belum mampu memunculkan "muazin" bangsa yang baru. Kita kehilangan tokoh-tokoh sekaliber Hatta, Agus Salim, hingga Gus Dur yang berani menyuarakan kebenaran tanpa rasa takut. Tanpa teladan, mimpi indah reformasi yang diperjuangkan dengan susah payah seolah telah mati dan berbelok arah. Tuntutan rakyat untuk perbaikan di berbagai lembaga negara, mulai dari eksekutif hingga yudikatif, seakan membentur tembok kokoh moralitas yang semakin menipis.

Maka, sudah saatnya kita berhenti memelihara fobia dan hantu-hantu imajiner. Seperti ulat bulu yang akan menjadi kupu-kupu indah, setiap tantangan jika dihadapi dengan benar akan membawa kebaikan. Kita perlu kembali fokus pada masalah sesungguhnya: menegakkan keadilan, memberantas korupsi, dan memperbaiki moralitas bangsa. Semoga mimpi panjang yang membelokkan arah reformasi ini segera usai.

Pemerintah justru mempertontonkan sebuah sandiwara dalam penegakan hukum, misalnya ketika para pejabat saling lempar tanggung jawab dalam kasus pagar laut ilegal, bukannya menunjukkan keseriusan untuk mengusut tuntas dalang di baliknya.

Artikel karya Budiman Tanuredjo ini adalah sebuah refleksi mendalam yang menyadarkan kita akan krisis etika dan keteladanan yang serius di kalangan elite politik. Persoalan yang diangkat bukanlah hal baru, namun penulis berhasil menyajikannya dengan argumen yang runut dan bukti yang konkret, menjadikannya sangat relevan dengan situasi saat ini. Fakta bahwa gerakan masyarakat sipil harus turun ke jalan untuk "menyelamatkan agenda pengabaian konstitusi" oleh DPR menunjukkan betapa rapuhnya sistem pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) di negara ini.

Ulasan ini menyoroti bahwa sumpah jabatan bukan sekadar seremoni, melainkan kontrak moral antara pejabat dengan rakyat dan Tuhan. Ketika sumpah itu dengan mudahnya diabaikan, maka kepercayaan publik terhadap institusi negara pun runtuh. Krisis keteladanan yang disinggung penulis, dengan menyebut nama-nama besar seperti Hatta, Agus Salim, dan Gus Dur, semakin mempertegas kerinduan masyarakat akan sosok pemimpin yang berintegritas dan benar-benar mengutamakan kepentingan bangsa di atas segalanya. Artikel ini adalah seruan agar para elite politik melakukan introspeksi diri  dan agar masyarakat tidak pernah lelah menagih janji-janji reformasi. 

Saya sangat setuju dengan pandangan artikel ini. Masalah yang diangkat bukan sekadar wacana politik, tetapi sebuah ancaman nyata terhadap fondasi demokrasi. Ketika sumpah dan etika hanya menjadi formalitas, kepercayaan publik akan hancur. Artikel ini dengan lugas menunjukkan bagaimana kekuasaan telah menjadi tujuan itu sendiri, bukan lagi alat untuk melayani rakyat. Gelombang unjuk rasa masyarakat sipil yang berhasil menggagalkan upaya revisi UU Pilkada adalah bukti bahwa rakyat masih memiliki "akal sehat" dan kesadaran, yang ironisnya sering kali lebih tinggi daripada para wakilnya di parlemen.

Para elite politik justru mempertontonkan pengkhianatan terhadap sumpahnya sendiri, misalnya ketika mereka berusaha mengabaikan konstitusi demi kepentingan sesaat, bukannya bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat seperti yang telah mereka janjikan.

Artikel "Ketika Etika dan Sumpah Menjadi Teks Mati" karya Budiman Tanuredjo adalah sebuah gugatan keras terhadap krisis keteladanan yang melanda para elite politik negeri ini. Penulis dengan tepat menyoroti bahwa masalah nyata yang kini dihadapi bangsa adalah sirnanya figur pemimpin yang berintegritas. Sumpah jabatan yang sakral telah direduksi menjadi sekadar "teks mati" , sebuah formalitas yang dengan mudah dilupakan. Akibatnya, yang tersisa adalah kekosongan panutan, di mana bangsa ini merindukan kehadiran tokoh-tokoh sekaliber Hatta, Agus Salim, Nurcholish Madjid, Buya Syafii Maarif, hingga Gus Dur, yang menjalankan politik secara bermartabat. 

Penulis secara efektif menggunakan peristiwa sejarah sebagai cermin untuk merefleksikan kondisi saat ini. Dengan menjadikan Gerakan Reformasi 1998 sebagai titik pijak, penulis mengajak pembaca untuk membandingkan cita-cita luhur reformasi dengan kenyataan pahit hari ini. Enam tuntutan reformasi, seperti pemberantasan KKN dan penegakan supremasi hukum, digunakan sebagai tolok ukur untuk menunjukkan betapa jauhnya kita menyimpang. Metode ini menjadikan sejarah bukan sekadar kenangan, melainkan sebuah pondasi kuat untuk memahami akar permasalahan bangsa yang tak kunjung usai. 

Artikel ini menjadi pengingat yang menyakitkan bahwa bangsa ini masih terbelenggu oleh masalah-masalah fundamental yang belum terselesaikan. Jika tidak segera muncul tokoh mumpuni yang memiliki energi dan integritas untuk mengurai keruwetan ini, kita hanya akan terus berputar dalam krisis yang berkepanjangan. Isu-isu seperti ketidakadilan ekonomi, lumpuhnya penegakan hukum, dan yang terpenting, krisis keteladanan, menunjukkan bahwa belum ada perubahan signifikan sejak reformasi digulirkan. Pada akhirnya, tulisan ini adalah sebuah seruan agar para elite berhenti sejenak untuk melakukan introspeksi  dan agar masyarakat tidak pernah lelah menagih janji-janji kebangsaan yang terkandung dalam sumpah dan etika bernegara.

Meskipun mengangkat isu yang berbeda, ketiga artikel ini dihubungkan oleh satu gagasan utama: adanya kemerosotan moral dan terkikisnya kepercayaan rakyat terhadap para pemimpin. Artikel "Fobia Ulat Bulu" secara simbolis mengkritik mentalitas masyarakat yang mudah panik. Namun, dua artikel lainnya---tentang etika yang dilupakan dan sandiwara penegakan hukum---menegaskan bahwa mentalitas tersebut adalah buah dari kegagalan para elite itu sendiri.

Wajar jika publik merasa frustrasi ketika para pemimpin, yang semestinya menjadi panutan, justru mengesampingkan sumpah dan etika demi kepentingan pribadi. Runtuhnya kepercayaan ini mencapai puncaknya dalam kasus pagar laut ilegal, di mana hukum tampak tumpul menghadapi pengusaha berpengaruh yang seolah kebal hukum. Ketidakadilan yang dipertontonkan secara terang-terangan inilah yang memicu kemarahan publik.

Akibatnya, masyarakat tak lagi diam dan mulai menuntut haknya. Aksi unjuk rasa yang terjadi baru-baru ini bukanlah sekadar respons atas satu isu tunggal, melainkan ledakan dari kekecewaan yang menumpuk terhadap kegagalan moral dan hukum yang telah mengakar di "republik hantu" ini. Hal ini menjadi bukti bahwa ketika "sumpah hanya menjadi tulisan mati" dan "hukum tak lebih dari sebuah sandiwara," maka turun ke jalan adalah satu-satunya cara yang tersisa bagi rakyat untuk menyuarakan aspirasinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun