Saya sangat setuju dengan pandangan artikel ini. Masalah yang diangkat bukan sekadar wacana politik, tetapi sebuah ancaman nyata terhadap fondasi demokrasi. Ketika sumpah dan etika hanya menjadi formalitas, kepercayaan publik akan hancur. Artikel ini dengan lugas menunjukkan bagaimana kekuasaan telah menjadi tujuan itu sendiri, bukan lagi alat untuk melayani rakyat. Gelombang unjuk rasa masyarakat sipil yang berhasil menggagalkan upaya revisi UU Pilkada adalah bukti bahwa rakyat masih memiliki "akal sehat" dan kesadaran, yang ironisnya sering kali lebih tinggi daripada para wakilnya di parlemen.
Para elite politik justru mempertontonkan pengkhianatan terhadap sumpahnya sendiri, misalnya ketika mereka berusaha mengabaikan konstitusi demi kepentingan sesaat, bukannya bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat seperti yang telah mereka janjikan.
Artikel "Ketika Etika dan Sumpah Menjadi Teks Mati" karya Budiman Tanuredjo adalah sebuah gugatan keras terhadap krisis keteladanan yang melanda para elite politik negeri ini. Penulis dengan tepat menyoroti bahwa masalah nyata yang kini dihadapi bangsa adalah sirnanya figur pemimpin yang berintegritas. Sumpah jabatan yang sakral telah direduksi menjadi sekadar "teks mati" , sebuah formalitas yang dengan mudah dilupakan. Akibatnya, yang tersisa adalah kekosongan panutan, di mana bangsa ini merindukan kehadiran tokoh-tokoh sekaliber Hatta, Agus Salim, Nurcholish Madjid, Buya Syafii Maarif, hingga Gus Dur, yang menjalankan politik secara bermartabat.Â
Penulis secara efektif menggunakan peristiwa sejarah sebagai cermin untuk merefleksikan kondisi saat ini. Dengan menjadikan Gerakan Reformasi 1998 sebagai titik pijak, penulis mengajak pembaca untuk membandingkan cita-cita luhur reformasi dengan kenyataan pahit hari ini. Enam tuntutan reformasi, seperti pemberantasan KKN dan penegakan supremasi hukum, digunakan sebagai tolok ukur untuk menunjukkan betapa jauhnya kita menyimpang. Metode ini menjadikan sejarah bukan sekadar kenangan, melainkan sebuah pondasi kuat untuk memahami akar permasalahan bangsa yang tak kunjung usai.Â
Artikel ini menjadi pengingat yang menyakitkan bahwa bangsa ini masih terbelenggu oleh masalah-masalah fundamental yang belum terselesaikan. Jika tidak segera muncul tokoh mumpuni yang memiliki energi dan integritas untuk mengurai keruwetan ini, kita hanya akan terus berputar dalam krisis yang berkepanjangan. Isu-isu seperti ketidakadilan ekonomi, lumpuhnya penegakan hukum, dan yang terpenting, krisis keteladanan, menunjukkan bahwa belum ada perubahan signifikan sejak reformasi digulirkan. Pada akhirnya, tulisan ini adalah sebuah seruan agar para elite berhenti sejenak untuk melakukan introspeksi  dan agar masyarakat tidak pernah lelah menagih janji-janji kebangsaan yang terkandung dalam sumpah dan etika bernegara.
Meskipun mengangkat isu yang berbeda, ketiga artikel ini dihubungkan oleh satu gagasan utama: adanya kemerosotan moral dan terkikisnya kepercayaan rakyat terhadap para pemimpin. Artikel "Fobia Ulat Bulu" secara simbolis mengkritik mentalitas masyarakat yang mudah panik. Namun, dua artikel lainnya---tentang etika yang dilupakan dan sandiwara penegakan hukum---menegaskan bahwa mentalitas tersebut adalah buah dari kegagalan para elite itu sendiri.
Wajar jika publik merasa frustrasi ketika para pemimpin, yang semestinya menjadi panutan, justru mengesampingkan sumpah dan etika demi kepentingan pribadi. Runtuhnya kepercayaan ini mencapai puncaknya dalam kasus pagar laut ilegal, di mana hukum tampak tumpul menghadapi pengusaha berpengaruh yang seolah kebal hukum. Ketidakadilan yang dipertontonkan secara terang-terangan inilah yang memicu kemarahan publik.
Akibatnya, masyarakat tak lagi diam dan mulai menuntut haknya. Aksi unjuk rasa yang terjadi baru-baru ini bukanlah sekadar respons atas satu isu tunggal, melainkan ledakan dari kekecewaan yang menumpuk terhadap kegagalan moral dan hukum yang telah mengakar di "republik hantu" ini. Hal ini menjadi bukti bahwa ketika "sumpah hanya menjadi tulisan mati" dan "hukum tak lebih dari sebuah sandiwara," maka turun ke jalan adalah satu-satunya cara yang tersisa bagi rakyat untuk menyuarakan aspirasinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI