Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Banyak ‘Ikan’ Bermunculan di Senayan?

11 Januari 2012   04:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:03 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belakangan ini, semakin banyak saja spesies ikan yang muncul di senayan sana. Ada ikan salmon (intelektual kagetan asal ngomong), ikan teri asin (intelektual kagetan teriak sana-sini), dan juga ikan piranha (pikiran dan pembicaraan suka berbeda). Uniknya, ikan-ikan ini saling serang dengan berbagai statement yang saling mendiskreditkan satu-satu sama lain. Maka, terjadilah yang namanya kegaduhan politik. Sesuatu yang sebetulnya sama sekali tidak produktif dan menunjukkan rendahnya kualitas mereka sebagai legislator.

Sejatinya, mereka yang katanya terhormat itu dipilih oleh rakyat bukan untuk menjadi ikan yang saling serang. Terlebih lagi mereka dipilih melalui proses demokrasi─pemilu─yang menelan biaya yang tidak sedikit. Selain itu mereka, yang kebanyakan malas itu, juga digaji dengan gaji yang tidak sedikit serta mendapat fasilitas yang super lux. Idealnya, ini semua berkorelasi positif dengan kinerja mereka dalam menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan dari lembaga yang merupakan representasi kekuasaan rakyat dalam negara, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Kita, sebagai rakyat yang diwakili oleh mereka, tentu amat berharap banyak atas kinerja para anggota dewan itu. Tapi apa mau dikata, mereka nampaknya lebih senang menjadi ‘ikan’ yang saling serang ketimbang memikirkan dan memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Mereka lebih memilih menjadi ikan untuk kepentingan partai dan golongannya masing-masing.

Sebetulnya, kegaduhan politik semacam ini juga sudah sering terjadi sebelum-sebelumnya. Dan menariknya, orangnya itu-itu juga. Dan saya kira, tidak salah kalau kita menyimpulkan, hal ini merupakan bukti bahwa proses demokrasi kita─pemilu─belum mampu menghasilkan legislator atau wakil rakyat yang berkualitas. Yang bisa menyenangkan hati rakyat, bukan membuat rakyat terluka dan sesekali tertawa dengan kegaduhan politik yang mereka buat.

Representasi pemilih tak berkualitas

Tentu ada banyak hal yang bisa menjadi sebab kenapa kualitas atau kinerja wakil rakyat yang ada saat ini mengecewakan. Sebagai lembaga politik, partai mungkin patut disalahkan karena gagal mencetak kader-kader yang berkualitas. Ada kecenderungan, mereka yang diusung oleh partai-partai politik sebagai caleg dalam pemilu legislatif adalah politisi karbitan, miskin kualifikasi, hanya karena bermodal─punya banyak uang, dan cuma sebagai pengumpul suara karena dia seorang artis misalnya. Karenanya, kita sebagai rakyat tidak punya banyak pilihan. Yang disodorkan kepada kita adalah orang-orang yang tidak berkualitas.

Faktor pemilih yang asal pilih juga mungkin menjadi sebab. Dengan kondisi pemilih kita yang sebagian besar tidak terdidik, para colon legislator yang tidak berkualitas dan tak punya kredibilitas mendapat angin untuk terpilih. Sederhana saja, mereka yang tidak terididik akan mudah dibodoh-bodohi, ditipu, dan bohongi dengan segala rupa janji politik. Ditambah lagi preferensi mereka ketika memilih asal saja─siapa yang memberi duit lebih itu yang dipilih─bukan didasarkan pada pertimbangan mengenai kualitas dan kredibilitas calon yang akan dipilih. Selain itu, mereka juga memiliki keterbatasan akses informasi mengenai calon yang akan dipilih. Singkat kata, mereka mimilih kucing dalam karung, tanpa disertai keyakinan apakah yang di dalam karung itu benar-benar kucing atau ikan seperti yang banyak bermunculan di senayan sana sekarang.

Jika kita menengok data, fakta yang ada memang menunjukkan bahwa kualitas pemilih (voter) kita masih rendah. Hasil Sensus Penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 (SP2010) menunjukkan sekitar 49,23 persen penduduk berusia 16 tahun ke atas tinggal di perdesaan. Dan mudah untuk diduga kalau sebagian besar mereka memiliki keterbatasan akses informasi mengenai sepak terjang calon wakil rakyat yang akan mereka pulih.

Selain itu, data SP2010 juga menunjukkan sekitar 68,60 persen penduduk kita yang berusia 16 tahun ke atas ternyata hanya menamatkan pendidikan maksimal Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Hanya sebagian kecil yang menamatkan pendidikan tinggi:  Diploma I/II sebesar 0,96 persen, Diploma III sebesar 1,5 persen, Diploma IV/sarjana sebesar 4,04 persen, S2/S3 sebesar 0.31 persen. Dengan tingkat pendidikan yang rendah seperti ini, tentu sulit mengharapkan mereka memiliki kedewasaan dan kecerdasan dalam menentukan pilihan politik. Dan ini merupakan konsekwensi dari sebuah proses demokrasi  di tengah kondisi rendahnya kualitas sumberdaya manusia negeri ini.

Singkat kata, menurut saya, kombinasi antara rendahnya kualitas calon wakil rakyat dan kualitas para pemilihnya merupakan faktor utama yang menjadi penyebab kenapa makin banyak ‘spesies ikan’ yang bermunculan di senayan sana saat ini. Untuk itu, marilah menjadi pemilih yang cerdas.

*****

Data-data dari BPS (Sensus Penduduk 2010)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun