Mohon tunggu...
Juni Wati Sri Rizki
Juni Wati Sri Rizki Mohon Tunggu... Dosen - Pembina Gerakan MULIA (Muslimah Peduli Alam)

Ibu rumah tangga yang gemar berimajinasi, berdiksi, dan menginspirasi; pencinta seni yang selalu merindukan harmoni dan senantiasa mengharapkan rida Ilahi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

WNI Sulit Dapat KTP, WNA Masuk DPT: Mari Waspada

9 Maret 2019   21:28 Diperbarui: 9 Maret 2019   22:31 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ini fakta mencengangkan. Sesungguhnya WNA tidak memiliki hak pilih. Berdasarkan hasil penelitian faktual Bawaslu, sebanyak 174 WNA masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu 2019. Jumlah ini lebih dua kali lipat banyaknya dibandingkan data yang ditemukan KPU, yang hanya sejumlah 73 orang. 

Meskipun Bawaslu telah mencoret 174 WNA tersebut dari DPT, bukan berarti tidak ada lagi WNA yang berpeluang ikut memilih dalam pilpres dan pileg 17 April 2019 mendatang. Jumlah ini bisa saja bertambah seiring penelusuran lebih lanjut yang mestinya diintensifkan.

Apa pun kewarganegaraan mereka, di mana pun domisili mereka tidak penting untuk diperdebatkan, yang pasti ini adalah kecerobohan yang sangat disesalkan. Dapat dipahami bahwa proses coklit memang tidak mudah, mengingat jumlah penduduk Indonesia yang memiliki hak pilih begitu banyak. Namun demikian, bukan berarti  kecerobohan ini bisa dimaklumkan.

Akar masalahnya adalah izin kepemilikan KTP bagi WNA, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2006. Dalam Bab IV, terkait pendaftaran penduduk, pada pasal 17 ayat 1 sampai 4 undang-undang dimaksud diatur tentang keberadaan WNA sebagai penduduk Indonesia, baik ia dengan izin tinggal terbatas maupun izin tinggal tetap. 

Pada ayat 4 diatur tentang penerbitan KK, KTP dan Surat Keterangan Tempat Tinggal bagi orang asing. Dengan demikian, jelas bahwa pemilikan KTP bagi WNA adalah legal. Permasalahannya adalah bahwa KTP WNA maupun WNI menggunakan model blanko yang sama, sehingga secara fisik sulit dibedakan. Perbedaannya hanya pada status kewarganegaraan serta masa berlakunya yang terbatas. KTP WNI sendiri berlaku seumur hidup. Namun demikian, faktanya sebagian WNI justru mengalami kesulitan untuk mendapatkan KTP.

Banyak warga mengaku sulit mendapatkan KTP disebabkan ketidaktersediaan blanko. Bahkan penulis sendiri mengalami hal itu. Untuk mendapatkan e-KTP pengganti (disebabkan pindah alamat antar kecamatan dan agar berlaku seumur hidup) penulis dan keluarga terpaksa membayar 200 ribu rupiah per KTP. Alasan petugas Dukcapil karena pada saat itu blanko langka. Kasus korupsi blanko e-KTP yang merebak tahun 2018 lalu terkait erat dengan masalah ini.

Memiliki KTP bukan berarti terdaftar dalam DPT secara otomatis. Hal ini pula yang penulis rasakan. Pada Pilkada Kota Padangsidimpuan tahun 2018 penulis tidak terdaftar di TPS, padahal jauh sebelum hari-H pilkada, penulis sudah didatangi petugas coklit dan sudah mendapatkan undangan untuk pemilih. 

Sayangnya, mendekati hari-H penulis tidak mendapatkan undangan yang dilengkapi nama TPS. Ketika dicek ke beberapa TPS disekitar tempat tinggal ternyata penulis tidak terdaftar. Akibatnya, pada saat hari-H pilkada, penulis terpaksa menggunakan KTP, itupun setelah diawali perdebatan yang menjengkelkan dengan petugas TPS. Berdasarkan penelusuran penulis pada laman resmi KPU, untuk Pilpres dan Pileg 2019 ini pun penulis belum terdaftar dalam DPT, padahal sudah memiliki KTP lebih dari setahun lamanya. Seharusnya sudah masuk dalam pemutakhiran DPT.

Merujuk pada fakta dan data yang telah diuraikan tersebut dapat disimpulkan bahwa proses pendataan penduduk maupun pemilih di Indonesia masih perlu pembenahan serius. Jika tidak, hak WNI sebagai peserta pemilu akan tercederai, sementara WNA yang tidak memiliki hak pilih justru sebaliknya. Karena itu, mari sama-sama berbenah, saling mengingatkan dan saling melaporkan bila ditemukan kejanggalan. Pemilu adalah pesta demokrasi seluruh WNI. Untuk itu, harus dipastikan bahwa semua WNI yang memiliki hak pilih dapat berpartisipasi dan berkontribusi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun