[caption id="attachment_415342" align="aligncenter" width="300" caption="Tebing keraton (Kredit foto Irvan sjafari)"][/caption]
Bila Anda berada di kawasan Maribaya memandang tebing ini maka Anda seperti melihat pilar istana. Itu sebabnya tebing di kawasan Dako Pakar dijuluki Tebing Keraton. Itu cerita dari Abah Atik, tukang ojek yang mengantarkan saya dari Dago Atas ke kawasan wisata yang baru sekitar enam bulan ini populer. Dahulu kata pria berusia 60 tahun ini tempat itu hanya tempat mencari kayu bakar bagi warga sekitar.
Minggu 3 Mei 2015 sekitar pukul 9.30 saya tiba di Terminal Dago Atas, lalu berjalan kaki sekitar satu kilometer hingga menemui jalan menuju Taman Hutan Raya Djuanda. Setelah menikmati nasi timbel di sebuah tempat pangkalan ojek, barulah saya menghampiri Abah Atik. Dengan tarif Rp100.000 pulang pergi pria yang mengaku sudah menjadi tukang ojek sejak 1968 ini mengantarkan saya melalui jalan yang menanjak dan sebagian besar rusak.
Lokasi Tebing Keraton berjarak sekitar enam kilometer dari Terminal Dago Atas dan belum ada Angkutan Umum kecuali ojek yang ke atas. Mobil beroda empat pun hanya bisa singgah di Warung Bandrek. Dari sana wisatawan berjalan kaki beberapa kilometer ke Tebing Kraton yang berada di ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut. Saya tiba sekitar dua puluh menit ke depan pintu gerbang dan membayar tiket masuk sebesar Rp11.000.
Dari pintu gerbang saya berjalan kaki di jalan setapak sejauh antara 200-300 meter dan menemukan sebuah tebing yang menjorok ke arah jurang. Di sana sudah ada puluhan anak muda yang berselfie. Luas area tempat berselfie itu sekitar 5 x15 meter. Tetapi amboi panorama kota dan hutan Tahura Djuanda begitu memikat. Area itu sebetulnya dipagar kayu, maksudnya agar pengunjung tidak melewatinya.
Namun memang demi bisa selfie, ada pengunjung yang menunjukkan nyali berada di pinggir tebing dan berfoto. Padahal bila memandang ke bawah ratusan meter dan dasarnya sulit diperkirakan. Memang ada tali untuk pegangan: tapi kalau terpeleset? " Hoi! Kalau jatuh bisa jadi urusan polisi! Tempat ini bisa ditutup!" teriak seorang berbadan tegab yang tampaknya penjaga kawasan yang menjadi bagian dari Tahura Djuanda itu.
[caption id="attachment_415343" align="aligncenter" width="300" caption="Berselfie sambil adu nyali (kredit foto Irvan sjafari)"]
Mungkin saja ada yang mahir dan pernah mengikuti olahraga panjat tebing atau ikut pencinta alam. Tetapi ternyata ada yang tidak. Ada yang saya tanya menjawab: "Oh, nggak, cuma buat pamer"," katanya tertawa. Dia menyebut apa yang ia lakukan belum apa-apa. Tetapi saya kira, dia juga punya hitungan untuk melakukan hal itu. Ada lagi yang berseru: "Saya ke sini untuk menikmati ketinggian, bukan uji nyali!"  Ramai memang, karena saya melihat ada dua cewek ikut berdiri di luar pagar. Ada juga yang berani turun dan nongkrong di tebing bawah tempat berselfie.
Sebagian besar pengunjung adalah anak muda. Ada yang datang dengan sepeda. Setidaknya tiga orang yang saya temui mengaku mengayuh sepeda enam jam dari Bandung Selatan. Itu artinya berangkat subuh. Ada juga yang menggelar koran dan duduk-duduk bak seperti di Taman Ria sambil menikmati nasi bungkus.
Sebetulnya waktu yang paling baik untuk berkunjung ialah saat sunrise. Ada dua cewek dari Jakarta sesama backpacker menginap di hostel yang sama dengan saya, sudah bernagkat duluan. Tadinya mereka mengajak saya, namun badan terlalu lelah sehabis menonton Kampoeng Jazz yang digelas di Kampus Unpad sehari sebelumnya.
Menurut beberapa sumber daerah sekitar 590 hektar di sekitar Tebing Keraton telah menjadi wilayah konservasi Dinas Kehutanan. Di samping area berselfie itu, ada kawasan lain yang tampaknya disiapkan untuk areal berkemah.  Sebetulnya di kawasan patahan Lembang ini masih ada potensi wisata baru yang harus dikelola hati-hati.  Saya belum melihat ada sampah di kawasan, menandakan belum terlalu banyak yang datang. Di sisi lain terdapat kebun sayur milik warga ikut memberi warna kawasan itu terasa asri.
Irvan Sjafari
Foto-foto dokumen pribadi