Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pileg 2024, Partai yang Mungkin Lolos dan Harusnya Ada di Parlemen

16 Februari 2024   09:20 Diperbarui: 16 Februari 2024   09:28 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana TPS di Cinere-Foto: Irvan Sjafari

Padahal  buruh adalah kekuatan politik yang bisa signifikan di Indonesia. Dalam satu dekade terakhir, jumlah buruh di Indonesia sebenarnya terus meningkat. Data yang dirilis BPS menunjukkan pada  2008 proporsinya 27,5 persen, sedangkan pada tahun 2017 mencapai hampir 40 persen populasi penduduk berusia 15 tahun ke atas.

Dari 40 juta lebih pekerja yang bekerja dalam sektor formal, menurut data yang dilansir Kementerian Ketenagakerjaan (2017) mencatat hanya ada sekitar 2,7 juta orang yang terdaftar sebagai anggota serikat pekerja.

Terlepas dari tingkat akurasi data tersebut yang masih diperdebatkan, dalam realitas politik Indonesia saat ini, suara buruh selalu dijadikan rebutan partai-partai politik saat pemilu.

Partai Buruh di Indonesia bukanlah seperti di negara Eropa atau di Australia. Menurut peneliti Ilmu Administrasi Negara dari Universitas Lampung Dodi Faedlulloh (2019) cikal bakal gerakan buruh di Indonesia bukan transisi dari masyarakat feodal ke kapitalisme industri seperti di Eropa.

Kehidupan masyarakat Indonesia demikian kental dengan budaya primordial, maka hal-hal terkait etnis, agama, dan kelompok lebih dominan dibanding isu buruh.

Buruh bukanlah kelompok yang solid. Hal ini terjadi karena dampak warisan dari otoritarianisme Soeharto yang menyebabkan buruh terlalu terpecah belah dan tidak bisa mendesakkan kepentingannya sebagai kelompok. Buruh tidak memiliki rasa kebersamaan sebagai kelompok dan buruh seringkali justru terjebak dalam gaya hidup konsumtif.

Organisasi buruh dianggap tetap lemah meskipun telah lahir peraturan yang menyediakan payung bagi lahirnya pelbagai serikat buruh. Bukannya membantu lahirnya organisasi buruh yang independen, peraturan yang ada justru dianggap sebagai pemecah belah gerakan buruh.

Pada  1999, terdaftar 68 serikat buruh tingkat nasional di Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia. Angka itu melonjak tajam menjadi 115 serikat buruh pada tahun 2002. Menyadari pentingnya gerakan yang kuat, beberapa serikat buruh bergabung dalam konfederasi.

Hingga akhir 2014, terdapat tiga konfederasi, yakni: Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Di sisi lain, terdapat puluhan serikat buruh, baik gerakan yang murni dilakukan oleh buruh maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang perburuhan.

Fragmentasi dalam tubuh gerakan buruh mengakibatkan kooptasi oleh partai-partai politik besar. Kooptasi ini bisa kembali menciptakan kondisi politik "penitipan aspirasi" buruh kepada partai-partai yang ada, yang selama ini jelas tidak pernah efektif.

Elite politik oligarki tidak pernah peduli dengan persoalan buruh, bahkan para elite justru malah merampas dan menunggangi gerakan buruh untuk kepentingan jangka pendek mereka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun