Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pejabat Desa Korupsi Ingin Jadi "Sultan", Dipicu Media?

10 Desember 2021   11:06 Diperbarui: 10 Desember 2021   11:22 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media massa mau cetak, online, televisi juga menampilkan orang kaya di tayangannya. Media massa menyebut selebritis ini  sebagai "sultan" dengan puja dan puji.  Perkawinan selebritis (yang mewah) dijadikan tontonan).

Untungnya masih ada film layar lebar seperti" Galih dan Ratna" (itu karena berdasarkan novel 1980-an) tokohnya mau naik angkot, "Dua Garis Biru",  walaupun ada tokoh anak orang kaya, tapi masih mau naik angkot dan tidak menjaga jarak dengan kelas sosial di bawahnya.

Mengapa tidak dipromosikan tokoh-tokohnya naik Transjakarta, MRT atau kereta commuter, kalaupun pun harus punya mobil, ya jenis Avanza, Xenia yang bisa dibeli dengan kredit? Semua bisa dilakukan dengan wajar. 

Apa yang terlintas di benak pejabat dari atas hingga ke desa dihujani tayangan promosi kemewahan seperti itu tiap hari? Begitu juga di berita online bahkan media sosial. Kalau ingin berwibawa ya harus tampil mewah, tinggal di rumah mewah, naik mobil yang jalannya "smooth". 

Tidak heran, kalau Kepala Desa juga ingin seperti itu, setidaknya jadi elite di desanya dan itu menjalar ke seluruh Indonesia. 

Selain itu untuk mendapat jabatan ya tentunya butuh modal dan ada yang memodali dan ketika terpilih harus kembali. Ketika sudah jadi pejabat atau anggota parlemen ya harus mempertahankannya, kalau dengan dermawan kepada konstituen. 

Ya, dari mana biaya hidupnya, ya dari lobi-lobi, jualan pasal dalam membuat kebijakan dan sebagainya  seperti yang  KPK kerap lakukan OTT

Celakanya rakyat tidak peduli terhadap korupsi karena memang tidak berakibat langsung pada mereka.  Hingga mereka tetap senang menyambut wakil rakyat ketika pulang ke daerahnya. Mereka juga mendapatkan uang  

Harus dibuat sistem agar wakil rakyat profesional hidup dengan gaji yang ditetapkan. Nggak boleh ada setoran untuk partai, karena seharusnya partai itu dibiayai konstituen.

Wakil rakyat  agar bisa kerja untuk konstituen tetap harus digaji layak. Kalau gaji nggak dipotong dan ada rumah dinas, mobil dinas (yang harus dikembalikan sesudah tidak menjabat) nggak ada alasan untuk korupsi.

Media massa harus mengangkat tokoh-tokoh anggota dewan (mudah-mudahan ada) ke kantor naik angkutan umum, tinggal di rumah yang biasa saja. Saya dulu punya narasumber favorit seorang anggota DPR tahun 1990-an Aberson Marle Sihaloho yang mudah ditemui di kediamannya yang biasa saja.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun