Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Citra Orang Desa dalam Lagu "Franky dan Jane" 1970-an

19 Maret 2018   18:23 Diperbarui: 20 Maret 2018   04:04 1452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu kaset Jadul Franky & Jane-Foto: Irvan Sjafari.

Untuk tembang lawas, saya menyukai lagu-lagu yang dinyanyikan duet kakak-beradik Franky dan Jane Sahilatua.  Franky Hubert Sahilatua, laki-laki berdarah Maluku, kelahiran Surabaya 16 Agustus 1953, butuh perjuangan untuk masuk dapur rekaman.

Album perdananya pada 1975, berduet dengan Jeanne (Jane) Maureen Sahilatua berjudul "Senja Indah di Pantai".  Franky meninggal pada 20 April 2011 karena penyakit kanker sunsum tulang belakang. Dia sudah menghasilkan belasan album bersama Jane, belum terhitung  album solo dan yang dinyanyikan bersama Iwan Fals  untuk blantika musik Indonesia (1).  

Sebetulnya keduanya  menjadi penyanyi favorit saya, agak terlambat dari kemunculan mereka,  yaitu sejak 2000, ketika bekerja menjadi jurnalis sebuah media online sekaligus juga  menggarap sebuah majalah wisata bulanan.

Setiap melakukan travelling, baik untuk keperluan pekerjaan maupun refreshing, di sela perjalanan rasanya mendengarkan lagu Franky & Jane memberikan sensasi sendiri.  Pada waktu itu saya menggunakan walkman, hingga tidak menganggu kawan jurnalis lain atau penumpang lain (ketika sendiri).

Sejumlah lagu yang saya sukai dari duet bergenre balada (folk) ini bertema tentang kehidupan masyarakat desa, tentunya settingnya era 1970-an hingga 1980-an awal, ketika lagu ini diciptakan. Saya bukan saja menyukai aransemen musiknya, cara mereka bernyanyi, tetapi liriknya yang memberikan intepretasi yang menarik tentang citra orang desa.

Tema pertama yang menarik ialah suasana saat panen tiba, yang memberikan kegembiraan pada petani.  Pada waktu itu saya terkesan kehidupan petani masih terasa berkecukupan.  Lagu berjudul "Panen Telah Datang", misalnya memberikan suasana suka para petani.


Sekumpulan petani di sawah sedang memetik padi/ Kadang berdiri, kadang membungkuk/memakai topi lebar/ Keringat jatuh kaki berlumpur/

Lirik ini dinyanyikan dengan tempo agak lambat, lagu itu menyatakan kekagumannya pada kerje keras petani. Mereka memetik hasil jerih payahnya.

Bait berikutnya merupakan luapan kegembiraan penduduk desa, ketika panen berhasil.

Anak desa telanjang dada/ duduk di persimpangan petak sawah/sambil bermain harmonika. Kalau menyimak lagu ini, rakyat desa begitu bersahaja.  Kegembiraan diungkapkan dengan bermain musik apa adanya, di antaranya harmonika. 

Sudah ada perubahan.  Masa sebelumnya petani di Jawa Barat bermain angklung atau calung untuk mengucapkan rasa syukurnya.  Orang desa menggunakan musik untuk menyatakan suka ria.

Hal yang sebangun terasa pada lagu "Menyambut Musik Petik".  Bait pertamanya mengingatkan saya ketika perjalanan ke Banten bersama tim melintasi ladang dan sawah pada 2001.

Aku berdiri di batas desa/Hijau kuning terhampar di depanku/Perempuan desa di tengah ladang/dengan kain di kepala, sedang bekerja.

Saya membayangkan kalau jadi backpacker sendirian mengalami suasana seperti yang dinyanyikan Franky.  Terasa begitu damai dan harmonis.

Memetik hasil ladang dengan wajah berseri/Berjalan membawa pulang hasil ladang mereka dengan sinar di mata/Terasa lega di hati/Tak ada bencana di musim ini.  

Saya membayangkan kegembiraan para petani ketika panen berhasil, tidak ada serangan hama, bencana kekeringan atau banjir.  Hal itu anugerah terindah bagi mereka.

Menyambut musim petik/Tangan bergandeng tangan/Perempuan menari/ dengan kain merah, kuning dan hijau/kaki-kaki dihentakan/ikuti irama tetabuhan.

Jane menutup bait itu dengan tempo lebih cepat. Rakyat desa menyatakan kegembiraannya dengan cara yang sederhana. Lagu favorit saya dan menjadi salah satu lagu wajib didengarkan di Youtube.

Yang menarik bagi saya adalah citra perempuan desa yang digambarkan rajin ke ladang, dengan kain di kepala.  

Begitu juga dengan lagu "Musim Bunga" yang berisi tentang suatu kampung penghasil bunga.  Bila menyimak lagu ini, maka terbayang suatu kampung dengan bunga warna-warni di halaman pekarangan rumah rakyat.  Bait keduanya menggambarkan kegembiraan ketika tiba waktunya memetik bunga.

Ramai-ramai perempuan desa dengan keranjang di atas kepala/Burung-burung yang berkicauan/menemani mereka memetik bunga/Senyum beberapa wanita, yang menyelipkan bunga di rambutnya.

Lagu terakhir yang saya bahas dalam tulisan ini ialah "Siti Julaika", yang berkisah secara runtut tentang perempuan yang memakai kebaya mengayuh sepeda ke pabrik gula. Di pabrik gula itu Julaikan mendapat jodoh dengan Durahim, sesama buruh.

Mereka menikah bulan berikutnya/dengan upacara yang sederhana/dengan upah kerja sedikit saja.

Dalam lagu ini buruh pabrik gula (saya menduga Franky mendapat inspirasi dari pabrik gula di Jawa Tengah atau Jawa Timur)  dibayar murah untuk memetik tebu hingga penggilingan hingga menjadi gula.  Namun suami-isteri ini menerima dan menjalani hidupnya dengan pasrah. Nrimo dan tidak neko-neko.

Citra orang desa dalam lagu ini masih kerap memakai kebaya, naik sepeda, berpendidikan rendah.

Lagu ini ditutup dengan miris.

Ketika lahir anak pertama/Mereka sudah tidak bekerja/Pabrik gula kurangi tenaga/Mesin-mesin telah tiba.

Franky melontarkan kritik sosial tanpa menyalahkan siapa-siapa. Dia hanya mengungkapkan sebuah kenyataan.  Lagu ini diyanyikan tidak lebaydalam meratapi kehidupan kaum marjinal, tetapi memberikan simpati yang mendalam. 

Orang Desa Saat Ini

Pertanyaan saya benarkah kehidupan orang desa saat ini masih sama?

"Tidak lagi seperti itu!" kata teman saya Ayu, yang tinggal di kawan yang tinggal di Kabupaten Bogor, senada juga Mutia di Gunung Kidul, Ciciek di kawasan Singasari, Malang. Dalam arti gaya hidup dan perilaku.

Ketiganya menyebutkan, jarang dijumpai perempuan desa menggunakan kebaya, kecuali untuk acara tertentu. Perempuan desa sudah memakai pakaian modern, bahkan yang sudah sepuh sekali pun.  Perempuan tidak lagi mengayuh sepeda. Kalau ke ladang malah di antar menggunakan motor. 

Sejak 1990-an gadis-gadis sudah banyak yang sekolah tidak lagi ke ladang. Perempuan kalau ke ladang masih ada yang memakai kain di kepala, tetapi sekarang juga hijab. Kalau rumah jauh hasil panen diangkut dengan kendaraan roda empat.

Gadis-gadis desa sekarang sudah menggunakan ponsel. Saya juga sepakat dan tahu persis teman-teman saya di desa juga menggunakan ponsel. Kawan perempuan saya yang tinggal di Kabupaten Pangandaran, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Malang lebih "gadget freak" dari saya.

"Kalau menyelipkan bunga di rambutnya, anak desa yang main harmonika sudah nggak lihat," kata Mutia.  

Saya sebetulnya sudah menduga hal itu. Anak desa saat ini sudah akrab dengan internet, band dan tentunya gawai, termasuk bermain gim.   Mereka tidak lagi memainkan harmonika, apalagi seruling seperti puluhan tahun yang lampau.  Entah bagaimana di kawasan lain, yang tak terpantau oleh saya, bisa saja masih.

Ketika saya main ke Kabupaten Bogor dan Sukabumi karena saya punya kenalan di sana, yang sering saya lihat gadis-gadis menggunakan sepeda motor. Termasuk buruh pabrik sekali pun. Itu yang saya lihat sendiri.  Ketika saya mengunjungi  kegiatan komunitas pendidikan alternatif di Ciawi beberapa tahun yang silam, perempuan desa sudah berubah. Mereka memotret dengan ponsel.

Gambaran yang diberikan sinetron atau FTV kita tentang orang desa yang lugu kerap keliru. Gadis atau pemuda desa digambarkan akrab dengan kambing, sudah tidak tepat lagi. Memang masih ada.  Apalagi gadis desa yang bisa dengan mudah jatuh hati  pada pemuda kota, seperti gambaran FTV. Saya meragukan hal itu.    

Gambaran yang lebih baik diungkapkan sinetron berseri "Dunia Terbalik", perempuan Desa Ciraos malah menjadi pencari nafkah, digambarkan lebih pandai karena menjadi TKW (dapat pelatihan), sementara laki-lakinya menjadi bodoh dan pemalas. Saya khawatir justru ini mendekati kenyataan.

Yang masih relevan ialah nasih buruh pabrik. Tingkat pendidikan perempuan di banyak desa mungkin masih rendah, pernikahan dini masih terjadi, hingga angka perceraian juga jadi tinggi. Adanya kawin kontrak juga menjadi persoalan. 

Selain itu patut juga ada penelitian apakah kehidupan orang desa masih harmonis, memegang kearifan lokal, peduli pada lingkungan? Laporan kawan jurnalis saya di Lampung masih membenarkan hal itu. Setahu saya di Kampung Naga, Tasikmalaya masih berlaku.

Persoalan paling krusial bukan soal gaya hidupnya. Tetapi lahan pertanian makin berkurang tergerus oleh keberadaan pabrik, industri, bahkan  pendirian "kota mandiri" untuk orang kaya di Jakarta, terutama di Jawa Barat.   

Selain itu apakah pemuda desa masih mau menjadi petani? Juga menjadi tanda tanya. Mereka ragu apakah kehidupan petani menjanjikan. Dalam Bahasa Inggris petani kita adalah Peasant alias petani penggarap, bukan Farmer, petani pemilik lahan yang mengerjakan ladangnya dengan teknologi seperti di Amerika.

Yang punya kesadaran bertani untuk model kedua justru kalangan kelas menengah perkotaan denagn gerakan berkebun yang digagas antara lain oleh Wali Kota Bandung  Ridwan Kamil. Orang-orang seperti ini menggunakan hidroponik dan teknologi  memanfaatkan lahan sempit.

Di perdesaan juga ada, tetapi biasanya didorong oleh sejumlah yayasan, LSM, serta orang-orang terdidik yang peduli pada petani. Beberapa desa memang menjadi desa mandiri, tetapi bukan menjadi mainstream.  Namun di banyak tempat masalah hama, bencana alam, ketiadaan pupuk, harga gabah, distribusi, Nilai Tukar Petani   masih menjadi masalah.

Bagaimana lagu Franky tentang kota? Satu lagu dia "Bis Kota" mungkin untuk Jakarta, bahkan Bandung juga sudah tidak relevan. Adanya Transjakarta dan taksi online merubah semua. Bis kota yang miring ke kiri oleh sesaknya penumpang yang bergelantungan tinggal sejarah.

Metromini antri di Blok M, masih ada, tapi kosong melompong.  Namun lagu itu masih enak didengar untuk menghibur. Begitu juga lagu-lagu Franky tentang perdesaan, walaupun banyak sudah banyak perubahan, tetapi tetap menjadi pelipur lara dan enak didengar. Setidaknya bagi saya.

Irvan Sjafari

Tulisan Kedua untuk Hari Musik Nasional (walau terlambat).

Catatan Kaki:

  1. Untuk biografi Franky, saya mengutip  http://frankynjane.blogspot.co.id/p/biografi.html, https://id.wikipedia.org/wiki/Franky_Sahilatua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun