Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[Review] "Bukan Cinta Malaikat", Gagasan Brilian, Penggarapan Banyak Lubang

17 Juli 2017   20:37 Diperbarui: 19 Juli 2017   15:31 1641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adegan | sumber: kompas.com

Beberapa tahun belakangan ini sejumlah film Indonesia mengambil setting cerita dan syuting di luar negeri  mendapatkan sorotan, karena masih banyak sebetulnya daerah di Indonesia yang bisa diangkat menjadi  tempat syuting film dan menjadi latar belakang ceritanya.

Namun hal itu sebetulnya tidak menjadi masalah karena hal itu adalah fenomena dan isu global, lagipula film itu diangkat dari novel di mana penulisnya memang pernah berada di negeri tersebut. Misalnya untuk penulis  novel dengan nafas religi seperti Asma Nadia di Beijing, Tiongkok, Hanum Rais di Wina, Austria dan New York, Amerika Serikat.  

Kalau dari isu global Hanum Rais jelas mengungkapkan kegelisahan muslim di negera Eropa Barat menjalankan keyakinannya di tengah stigma terorisme dan perilaku kekerasan pada muslim. Sementara Asma Nadia mengungkapkan kisah cinta antar dua bangsa dan budaya dengan balutan religi, ketika tokoh utamanya berada di luar negeri.  Hal yang mungkin saja terjadi pada sekarang, apalagi dengan adanya media sosial.

Bukan Cinta Malaikat, keduanya, terutama pada segmen pertama.  Seorang relawan kemanusian Muslim Care bernama Reyhan (Fachry Albar) di Madinah menolong Dewi (Nora Danish), seorang jemaah umroh asal Malaysia dan kemudian saling jatuh cinta. Muslim Care: Global Justice ini sebetulnya bisa saja mengacu pada LSM seperti  MerC, ingin membantu sesama muslim di tengah konflik seperti yang terjadi Suriah. Aktual.

Segmen diselipkan adegan di mana  mobil yang ditumpangi Reyhan dan Dewi dicegat kelompok pemberontak dan terjadi insiden berdarah yang melibatkan mereka. Sepintas adegan ini wajar saja, karena bekerja sebagai relawan kemanusiaan resiko itu akan dihadapi.

Segmen kedua di Trengganu Malaysia, Dewi diceritakan hanya tinggal bersama neneknya di sebuah kampung di Pantai Trengganu, sebetulnya sudah pernah punya kekasih bernama Adam (Ashraf Muslim), namun hubungan mereka ditentang oleh keluarga Adam karena tidak sederajat, teutama oleh Sang Kakak Tasya.  


Sebetulnya Adam sempat menikahi Dewi di Thailand Selatan, namun Sang Kakak mencari celah dengan  mendatangkan ahli agama bahwa pernikahan mereka tidak sah karena soal wali dan penghulunya. Begitu rumitnya orang mau menikah, bisa digugat tidak sah?  Saya tidak faham soal agama, tetapi yang terlintas di benak saya cerita ini kok mulai seperti sinetron dengan tokoh antagonis yang menyebalkan?

Sementara Reyhan masih punya orangtua di Bandung sebetulnya juga punya sahabat bernama Aliyah (Donita) yang diam-diam menyukainya.  Namun Reyhan tetap memilih Dewi dan menikahinya. 

Cerita terus bergulir dan kian mirip sinerton.  Ketika Aliyah juga diceritakan menikah dengan suami yang gemar melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Lalu mengeluhkannya pada Reyhan, kok bukan ke orangtuanya?  dan semakin sinetron dengan hamilnya Dewi, serta hadirnya Adam di Bandung.  Kemungkinan anak yang dikandung Dewi adalah anak Adam.

Tiba-tiba saja seorang dibuat berwajah "Timur Tengah" bisa-bisanya muncul di Bandung bersiap balas dendam pada Reyhan karena insiden di perbatasan Suriah-Arab Saudi. Belum berakhir kisah mirip sinetron ini, karena  masih ada satu tokoh antagonis kakaknya Adam yang punya rencana maha jahat  terhadap Dewi.   

Sejak segmen Bandung cerita begitu banyak lubang dan tanda tanya. Yang paling merusak sebetulnya,  begitu pentingkah membalas dendam pada Reyhan hingga tokoh radikal dari Timur Tengah itu mau mengeluarkan biaya untuk datang ke kota Bandung, begitu mudah, tidak terlacak dan membuat gaduh, lalu hilang begitu saja?  Memang ini fiktif. Kalau kenyataan, apa iya kelompok yang di belakang tokoh radikal ini tidak menghitung dampak politik yang sangat merugikan bagi perjuangan mereka. 

Lubang lainnya ada cerita tentang Aliyah dengan KDRT menjadi tanggung dan selipan saja. Keluarga uliyah tidak diceritakan. Masa mereka diam saja melihat wajah Auliyah yang lebam? Kok harus Reyhan yang peduli.  Di Trengganu, penyelesaian semakin sebangun dengan sinetron.  Ending cerita? Walaupun tidak bisa tertebak, tetapi tidak meninggalkan kesan.

Bukan Cinta Malaikat adalah film dengan gagasan yang brilian, tetapi penggarapannya berantakan. Karena tema cerita ini saya "bela-belain" menonton di tempat yang cukup jauh dari rumah, karena yang memutarnya sedikit-tampaknya jumlah penontonnya anjlok.  Hasilnya untuk film religi, ini yang paling mengecewakan yang pernah saya tonton.

Dari sinematografi, film yang disutradari oleh Aziz M. Osman dan  Herdanius Larobu   ini pada  segmen Timur Tengah tampak tidak maksimal. Gambar-gambarnya tidak mantap, sepertinya juru kamera tidak nyaman menyorot landscape di sana. Yang menggelikan bisa-bisanya buku agama berbahasa Indonesia terpampang mencolok di Pasar Madinah.

Kualita gambarya jauh di bawah segmen Trengganu dan Bandung, walaupun landscape di dua tempat ini yang diambil tidak terlalu istimewa dan terlalu klise. Terutama segmen Bandung, yang diambil gambarnya  dominan Masjid Agung dan alun-alun ikon wisata yang terlalu banyak diekspos.

Dari departemen kasting ada unsur menyelamatkan film untuk hancur total, yaitu  mempertahankan dialog dengan bahasa masing-masing adalah hal yang tepat. Tidak masalah Fachry Albar dengan Bahasa Indonesia berdialog dengan Nora Danish, serta Ashraf Muslim dengan logat Melayu,  Malaysianya, tetap nyambung, malah menjadi natural.  Begitu juga dengan penggunaan dialog Bahasa Arab di segmen Timur Tengah dan logat Sunda di segmen Bandung.

Untuk bagian pemain-pemain Indonesia diselamatkan Joshua Pandelaki dan Dewi Irawan yang begitu santai dan matang, untungnya  Fachry Albar lumayan, karena karakter yang dia mainkan sulit. Donita tidak berkembang.  

Dari pemain Malaysianya, Nora Danish memang tampil "loveable" tetapi lebih natural pemeran neneknya. Ashraf Muslim malah mengesankan karena dia harus memainkan karakter yang lebih sulit. Kesan saya awalnya saya tidak simpatik pada tokoh ini, tetapi sejak segmen  Bandung sebaliknya.

Secara keseluruhan Bukan Cinta Malaikat, terobosan baik dari segi sinergi Indonesia dan Malaysia dan merupakan keniscayaan di era global dan MEA ini. Masih ditunggu film dengan koloborasi seperti ini. Tentunya penggarapannya harus lebih baik.

 Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun