Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[Review] "Bukan Cinta Malaikat", Gagasan Brilian, Penggarapan Banyak Lubang

17 Juli 2017   20:37 Diperbarui: 19 Juli 2017   15:31 1641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adegan | sumber: kompas.com

Lubang lainnya ada cerita tentang Aliyah dengan KDRT menjadi tanggung dan selipan saja. Keluarga uliyah tidak diceritakan. Masa mereka diam saja melihat wajah Auliyah yang lebam? Kok harus Reyhan yang peduli.  Di Trengganu, penyelesaian semakin sebangun dengan sinetron.  Ending cerita? Walaupun tidak bisa tertebak, tetapi tidak meninggalkan kesan.

Bukan Cinta Malaikat adalah film dengan gagasan yang brilian, tetapi penggarapannya berantakan. Karena tema cerita ini saya "bela-belain" menonton di tempat yang cukup jauh dari rumah, karena yang memutarnya sedikit-tampaknya jumlah penontonnya anjlok.  Hasilnya untuk film religi, ini yang paling mengecewakan yang pernah saya tonton.

Dari sinematografi, film yang disutradari oleh Aziz M. Osman dan  Herdanius Larobu   ini pada  segmen Timur Tengah tampak tidak maksimal. Gambar-gambarnya tidak mantap, sepertinya juru kamera tidak nyaman menyorot landscape di sana. Yang menggelikan bisa-bisanya buku agama berbahasa Indonesia terpampang mencolok di Pasar Madinah.

Kualita gambarya jauh di bawah segmen Trengganu dan Bandung, walaupun landscape di dua tempat ini yang diambil tidak terlalu istimewa dan terlalu klise. Terutama segmen Bandung, yang diambil gambarnya  dominan Masjid Agung dan alun-alun ikon wisata yang terlalu banyak diekspos.

Dari departemen kasting ada unsur menyelamatkan film untuk hancur total, yaitu  mempertahankan dialog dengan bahasa masing-masing adalah hal yang tepat. Tidak masalah Fachry Albar dengan Bahasa Indonesia berdialog dengan Nora Danish, serta Ashraf Muslim dengan logat Melayu,  Malaysianya, tetap nyambung, malah menjadi natural.  Begitu juga dengan penggunaan dialog Bahasa Arab di segmen Timur Tengah dan logat Sunda di segmen Bandung.

Untuk bagian pemain-pemain Indonesia diselamatkan Joshua Pandelaki dan Dewi Irawan yang begitu santai dan matang, untungnya  Fachry Albar lumayan, karena karakter yang dia mainkan sulit. Donita tidak berkembang.  


Dari pemain Malaysianya, Nora Danish memang tampil "loveable" tetapi lebih natural pemeran neneknya. Ashraf Muslim malah mengesankan karena dia harus memainkan karakter yang lebih sulit. Kesan saya awalnya saya tidak simpatik pada tokoh ini, tetapi sejak segmen  Bandung sebaliknya.

Secara keseluruhan Bukan Cinta Malaikat, terobosan baik dari segi sinergi Indonesia dan Malaysia dan merupakan keniscayaan di era global dan MEA ini. Masih ditunggu film dengan koloborasi seperti ini. Tentunya penggarapannya harus lebih baik.

 Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun