“Iyaaa... itu kan karena Zahranya yang mau. Itu pilihan dia. Koloni membebaskan warganya mau seperti apa keluarganya, tetapi tetap dalam koridor sebagai spesies manusia. Tidak liar seperti spesies lainnya. Kan kamu sendiri menulis bahwa yang membedakan species manusia dan hewan hanya apa yang disebut nurani dan tentunya aturan. Tahu nggak, ketika Kang Alif belum di sini dan foto kecil kamu dibawa-bawanya sejak ia kanak-kanak diperlihatkan ke semua orang. Ini pangeranku, ini imamku, ketika kami datang, Harum sampai bosan ditanya terus karena mengaku kenal kamu. Dia berjanji kalau kamu kemari dia akan jadikan kamu sebagai imamnya dan akan berupaya kamu tetap di sini. Para tetua akhirnya luluh dan rupanya keinginannya terkabulkan. ”
“Caranya?” Tetapi Alif tidak terlalu ingin tahu. Akhirnya mengapa Zahra tidak ingin dia meninggalkan koloni dan berupaya berbagai macam cara agar dia tetap lengket dengannya. Bidadarinya itu tak habis-habisnya punya bahan untuk ngobrol, bermain hingga meledakan fantasi seksualnya dengan piawai…
Anis tidak menjawab. Alif tidak perlu lagi mencari tahu. Dia sudah menemukan kebahagian di sini. Tiga anaknya Lepi, Euca dan Actie mengelinginya. Bahkan Euca memberikan medali semut merah dan Actie medali semut hitam padanya, tanda lulus dasar kepanduan semut awal. Dia meraba medali dari kayu yang diukir dengan apik.
“Kami cinta ayah,” Euca mencium pipinya.
(BERSAMBUNG)
Irvan Sjafari